Kepemimpinan dalam Islam: Antara Kompetensi, Persatuan, dan Tanggung Jawab Sosial Kepemimpinan dalam Islam: Antara Kompe...
Kepemimpinan dalam Islam: Antara Kompetensi, Persatuan, dan Tanggung Jawab Sosial
Oleh: Robby Andoyo
Pendahuluan
Kepemimpinan merupakan aspek fundamental dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Dalam pandangan Islam, kepemimpinan bukan sekadar formalitas politik, melainkan amanah besar yang dipertanggungjawabkan di hadapan Allah. Karena itu, memilih pemimpin tidak boleh hanya berdasarkan popularitas, apalagi sekadar hiburan, melainkan harus menimbang kompetensi, akhlak, dan visi kebangsaan.
Fenomena kontemporer memperlihatkan adanya kecenderungan masyarakat yang memilih figur pemimpin berdasarkan daya tarik personal atau bahkan latar belakang profesi yang tidak memiliki korelasi dengan kepemimpinan. Hal ini menimbulkan pertanyaan serius: apakah seorang komedian, artis, atau figur populer yang tidak memiliki kapasitas kepemimpinan layak memegang tanggung jawab besar memimpin bangsa?
Popularitas versus Kompetensi
Pemimpin bukan hanya dipilih berdasarkan popularitas semata. Popularitas sering kali bersifat sementara dan tidak mencerminkan kemampuan mengelola negara. Al-Qur’an menegaskan pentingnya amanah dan kompetensi dalam kepemimpinan:
إِنَّ اللَّهَ يَأْمُرُكُمْ أَنْ تُؤَدُّوا الْأَمَانَاتِ إِلَى أَهْلِهَا وَإِذَا حَكَمْتُمْ بَيْنَ النَّاسِ أَنْ تَحْكُمُوا بِالْعَدْلِ
(QS. An-Nisa [4]: 58)
"Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil."
Ayat ini menegaskan bahwa kepemimpinan adalah amanah, dan amanah harus diberikan kepada orang yang tepat, bukan hanya yang populer.
Komedi dan Kepemimpinan: Sebuah Kritik
Menjadikan seorang komedian yang tidak memiliki jiwa kepemimpinan sebagai pemimpin merupakan kesalahan logis. Kepemimpinan membutuhkan keseriusan, kebijakan, dan kesanggupan menghadapi krisis. Pemimpin yang menganggap semua persoalan dengan candaan justru akan memperlemah wibawa dan merusak tatanan negara.
"Apabila suatu urusan diserahkan kepada yang bukan ahlinya, maka tunggulah kehancurannya."
(HR. Bukhari)
Hadis ini menjadi dasar bahwa pemimpin harus orang yang memiliki kapasitas, bukan sekadar figur populer tanpa kompetensi.
Kepemimpinan sebagai Kewajiban dalam Islam
Islam memandang kepemimpinan sebagai sebuah keharusan. Tidak ada masyarakat yang dapat berjalan baik tanpa pemimpin. Namun, memilih secara “ngawur” bertentangan dengan prinsip syura (musyawarah) dan akal sehat.
وَشَاوِرْهُمْ فِي الْأَمْرِ
(QS. Ali Imran [3]: 159)
"Dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu."
Ayat ini menegaskan pentingnya musyawarah dalam menentukan keputusan besar, termasuk memilih pemimpin. Dengan demikian, memilih pemimpin tidak boleh didasarkan pada hiburan semata, tetapi melalui musyawarah yang matang.
Analogi Salat Jama'ah dan Demokrasi
Salat jama'ah memberikan pelajaran penting tentang kehidupan bernegara. Seorang imam dipilih karena ilmunya, ketakwaannya, dan kedisiplinannya dalam salat, bukan karena popularitas. Dalam jama'ah, makmum mengikuti imam dengan penuh komitmen. Hal ini mengajarkan bahwa kehidupan berbangsa memerlukan prinsip kebersamaan dan kepatuhan pada aturan.
"Tidak halal bagi tiga orang berada di suatu tempat tanpa mengangkat salah satu dari mereka sebagai pemimpin."
(HR. Abu Dawud)
Hadis ini menegaskan bahwa kepemimpinan adalah sunnatullah dalam kehidupan sosial. Tanpa pemimpin, masyarakat akan kacau.
Persatuan sebagai Fondasi Kegemilangan
Persatuan adalah kunci kegemilangan suatu bangsa. Para ulama klasik dan modern menegaskan pentingnya menjaga persatuan untuk mewujudkan kejayaan umat.
Pendapat Ulama Klasik
- Al-Mawardi dalam Al-Ahkam al-Sulthaniyyah menekankan bahwa imamah (kepemimpinan) diperlukan untuk menjaga agama dan mengatur dunia.
- Ibn Khaldun menyebut kepemimpinan sebagai faktor kunci berdirinya peradaban.
- Imam al-Ghazali menegaskan bahwa tanpa pemimpin, agama akan kacau dan dunia akan hancur.
- Al-Farabi menggambarkan pemimpin ideal sebagai “al-madinah al-fadhilah” (kota utama) yang dipimpin oleh seorang filosof-raja.
- Ibn Taymiyyah menegaskan: “Kehidupan manusia tidak akan berjalan tanpa kepemimpinan, baik yang adil maupun yang zalim.”
Pendapat Ulama Modern
- Rasyid Ridha menekankan pentingnya khilafah dalam menjaga persatuan umat.
- Muhammad Abduh menekankan kepemimpinan berbasis akhlak dan ilmu.
- Yusuf al-Qaradawi menekankan demokrasi syura dalam memilih pemimpin.
- Quraish Shihab menegaskan bahwa kepemimpinan harus berlandaskan amanah dan tanggung jawab.
- KH Hasyim Asy'ari melalui Resolusi Jihad menunjukkan pentingnya persatuan umat untuk mempertahankan kemerdekaan.
Ayat dan Hadis tentang Konsep Memilih Pemimpin (3 Ayat & 3 Hadis)
Ayat 1
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الْأَمْرِ مِنْكُمْ
(QS. An-Nisa [4]: 59)
“Wahai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul, serta ulil amri (pemimpin) di antara kamu.”
Tafsir modern: Ayat ini menegaskan bahwa kepemimpinan adalah instrumen menjaga keteraturan sosial. Dalam konteks modern, ulil amri dapat dipahami sebagai pemimpin yang sah secara konstitusi dan kompeten secara teknis serta etis. Ketaatan pada pemimpin disyaratkan selama pemimpin itu tidak memerintahkan sesuatu yang bertentangan dengan perintah Allah dan Rasul. Oleh karena itu, legitimasi kepemimpinan harus didasarkan pada hukum, kompetensi, dan akhlak.
Ayat 2
إِنَّ خَيْرَ مَنِ اسْتَأْجَرْتَ الْقَوِيُّ الْأَمِينُ
(QS. Al-Qashash [28]: 26)
“Sesungguhnya orang yang paling baik yang engkau ambil sebagai pekerja adalah yang kuat dan dapat dipercaya.”
Tafsir modern: Ayat ini menyajikan dua kriteria utama yang relevan bagi pemimpin modern: kompetensi (kekuatan kemampuan) dan integritas (dapat dipercaya). Seorang pemimpin harus memiliki kapasitas teknis dan sumber daya moral untuk menjalankan tanggung jawab. Negara-negara yang menempatkan kriteria ini sebagai tolok ukur pemimpin biasanya menghasilkan kebijakan yang stabil dan berkelanjutan.
Ayat 3
إِنَّ اللَّهَ لَا يُغَيِّرُ مَا بِقَوْمٍ حَتَّى يُغَيِّرُوا مَا بِأَنْفُسِهِمْ
(QS. Ar-Ra'd [13]: 11)
“Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah keadaan suatu kaum sampai mereka mengubah keadaan diri mereka sendiri.”
Tafsir modern: Ayat ini menekankan bahwa perubahan sosial bergantung pada inisiatif internal masyarakat, termasuk memilih pemimpin yang mampu memimpin perubahan. Pilihan kepemimpinan adalah salah satu instrumen perubahan; oleh karenanya, kualitas pilihan publik menentukan arah peradaban. Dalam praktik, negara yang sadar akan tanggung jawab kolektif cenderung memilih pemimpin yang kompeten dan visioner.
Hadis tentang Kepemimpinan (3 Hadis) dan Penjelasannya
Hadis 1
"Setiap kalian adalah pemimpin, dan setiap kalian akan dimintai pertanggungjawaban atas yang dipimpinnya."
(HR. Bukhari & Muslim)
Penjelasan: Hadis ini memperluas makna kepemimpinan: setiap orang memiliki peran memimpin—keluarga, komunitas, lembaga—dan akan bertanggung jawab. Bagi pemimpin politik, tanggung jawabnya lebih besar karena skala dampak kebijakan yang dibuatnya. Ini menggarisbawahi bahwa kompetensi dan akhlak merupakan syarat moral pemimpin.
Hadis 2
"Pemimpin yang terbaik adalah yang kalian cintai dan mereka mencintai kalian."
(HR. Muslim)
Penjelasan: Kriteria kepemimpinan ideal bukan sekadar ketenaran tetapi kemampuan memimpin yang melahirkan kepercayaan dan kasih sayang. Pemimpin yang dicintai rakyatnya adalah pemimpin yang adil, pro-rakyat, dan mampu menghadirkan kebijakan yang menjawab kebutuhan riil masyarakat.
Hadis 3
"Imam adalah perisai, yang di belakangnya orang-orang berperang dan berlindung."
(HR. Bukhari & Muslim)
Penjelasan: Metafora ini menggambarkan pemimpin sebagai pelindung dan penjamin keamanan publik. Perisai tidak hanya menahan serangan fisik, tetapi juga menjaga stabilitas sosial, ekonomi, dan moral. Seorang pemimpin yang kompeten berfungsi sebagai "perisai" yang menjaga kesejahteraan rakyatnya.
Contoh Negara Maju yang Memilih Pemimpinnya dengan Baik
Singapura
Singapura adalah contoh negara yang mampu tumbuh pesat karena memiliki elit kepemimpinan yang fokus pada kompetensi teknokratis, integritas publik, dan visi jangka panjang. Kepemimpinan Lee Kuan Yew dan timnya menempatkan meritokrasi sebagai prinsip perekrutan birokrasi, menegakkan hukum, serta merancang kebijakan ekonomi yang pragmatis. Hasilnya: stabilitas politik, iklim investasi yang kondusif, dan layanan publik yang efisien.
Jepang
Pasca Perang Dunia II, Jepang memilih pemimpin dan birokrat yang mampu membangun kembali negara dengan disiplin, investasi pendidikan, dan industrial policy (kebijakan industri) yang berpadu antara negara dan sektor swasta. Kepemimpinan teknokratis dan akuntabilitas institusi menjadi kunci kebangkitan ekonomi Jepang yang kemudian melahirkan era keajaiban ekonomi.
Jerman
Jerman pasca Perang Dunia II dan pasca reunifikasi adalah contoh lain dari pemilihan, pembinaan, dan rotasi pemimpin yang kompeten. Model pemerintahan yang menempatkan profesionalisme, jaringan industri, serta sistem pendidikan vokasional membuat Jerman menjadi negara manufaktur unggul dan memiliki daya saing tinggi.
Inti pembelajaran dari ketiga negara tersebut adalah pola pemilihan (atau pembinaan) elit yang menempatkan kompetensi, integritas, dan kapasitas institusional di atas popularitas semata. Pilihan publik atau mekanisme seleksi elit yang sehat menghasilkan kebijakan publik yang efektif dan pertumbuhan berkelanjutan.
Penutup
Kepemimpinan adalah amanah besar, bukan arena hiburan. Bangsa yang besar membutuhkan pemimpin dengan kompetensi, integritas, dan komitmen moral yang kuat, bukan sekadar popularitas. Islam menekankan bahwa memilih pemimpin adalah bagian dari ibadah sosial. Seperti halnya salat jama'ah yang membutuhkan imam yang layak, demikian pula masyarakat membutuhkan pemimpin yang cerdas, adil, dan bertanggung jawab.
Popularitas tidak boleh menjadi ukuran tunggal, sebab bangsa ini membutuhkan figur yang mampu membawa rakyat menuju kejayaan, bukan menertawakan penderitaan rakyat. Persatuan yang dibangun di atas kompetensi dan akhlak pemimpin akan membawa umat menuju peradaban gemilang.
Semoga bangsa ini selalu dianugerahi pemimpin yang amanah, arif, dan membawa keberkahan bagi seluruh rakyatnya.
Daftar Pustaka
- Al-Ghazali. Ihya’ Ulumuddin. Beirut: Dar al-Fikr, 1995.
- Al-Mawardi. Al-Ahkam al-Sulthaniyyah. Kairo: Dar al-Hadith, 1996.
- Ibn Khaldun. Al-Muqaddimah. Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 2004.
- Quraish Shihab. Tafsir al-Mishbah. Jakarta: Lentera Hati, 2002.
- Hamka. Tasawuf Modern. Jakarta: Republika, 2016.
- Yusuf al-Qaradawi. Fiqh al-Daulah. Kairo: Dar al-Shuruq, 2001.
- KH Hasyim Asy'ari. Resolusi Jihad. NU Online, 1945.
- Muhammad Abduh. Al-Islam wa al-Nasraniyyah. Kairo: Dar al-Manar, 1902.