“Syukur: Menemukan Nikmat dalam Kesadaran”? Pada suatu sore yang teduh, seorang gadis muda duduk di depan cermin dengan wajah murung...
“Syukur: Menemukan Nikmat dalam Kesadaran”?
Pada suatu sore yang teduh, seorang gadis muda duduk di depan cermin dengan wajah murung. Ia merasa dirinya tidak cantik, bahkan sering menganggap kehadirannya hanya mendatangkan pandangan sinis dari orang-orang di sekitarnya. Namun, seorang sahabat datang, memberi sentuhan kecil dengan merias wajahnya, lalu memintanya untuk tersenyum. Seketika wajah itu berubah: bukan lagi cermin dari kesedihan, melainkan pancaran kehangatan. Saat itu ia menyadari bahwa keindahan tidak selalu berasal dari apa yang tampak sempurna, tetapi dari bagaimana ia memandang dirinya sendiri. Dari momen kecil itu, ia belajar arti syukur—menyadari bahwa ia memiliki sesuatu yang penting dalam dirinya.
وَإِذْ تَأَذَّنَ رَبُّكُمْ لَئِنْ شَكَرْتُمْ لَأَزِيدَنَّكُمْ وَلَئِنْ كَفَرْتُمْ إِنَّ عَذَابِي لَشَدِيدٌ
“Dan (ingatlah juga), tatkala Tuhanmu memaklumkan: Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti Kami akan menambah (nikmat) kepadamu, dan jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), maka sesungguhnya azab-Ku sangat pedih.” (QS. Ibrahim: 7)
Syukur bukan sekadar membandingkan diri dengan orang lain, tetapi tentang menyadari apa yang sudah ada pada diri. Banyak orang keliru mengira syukur berarti merasa lebih baik dibanding yang lain. Padahal, hakikat syukur adalah mengakui dan merasakan nikmat yang sudah ada, tanpa harus menoleh pada penderitaan orang lain. Fokusnya adalah diri sendiri: menemukan hal-hal penting yang kita punya, lalu merasa cukup dan bahagia karenanya.
وَاشْكُرُوا نِعْمَتَ اللَّهِ إِنْ كُنْتُمْ إِيَّاهُ تَعْبُدُونَ
“Dan bersyukurlah kamu atas nikmat Allah, jika hanya kepada-Nya kamu menyembah.” (QS. An-Nahl: 114)
Syukur juga berarti menghargai apa yang datang dari orang lain. Sebuah senyum, sebuah uluran tangan, atau perhatian kecil seringkali menjadi anugerah besar. Sayangnya, banyak orang merusaknya dengan menilai kecil apa yang diberikan, hanya karena harapan mereka lebih besar. Padahal, orang lain tidak memiliki kewajiban untuk memenuhi harapan kita. Kesadaran ini membuat hati lebih lapang, sebab syukur hadir bukan dari ekspektasi, melainkan dari penerimaan yang tulus.
فَاذْكُرُونِي أَذْكُرْكُمْ وَاشْكُرُوا لِي وَلَا تَكْفُرُونِ
“Karena itu ingatlah kamu kepada-Ku, niscaya Aku ingat pula kepadamu; dan bersyukurlah kepada-Ku, dan janganlah kamu mengingkari (nikmat-Ku).” (QS. Al-Baqarah: 152)
Pada akhirnya, syukur bukanlah sekadar ucapan, tetapi kesadaran mendalam yang melahirkan ketenangan. Syukur adalah seni melihat keindahan dalam hal yang sederhana, menghargai yang kecil, dan menerima dengan hati lapang. Dalam syukur, seseorang belajar bahwa kebahagiaan tidak terletak pada apa yang belum dimiliki, tetapi pada kemampuan menikmati apa yang telah ada.
Syukur adalah cahaya yang menuntun hati menuju ketenangan; ia mengajarkan kita bahwa yang sedikit bisa menjadi cukup, dan yang sederhana bisa menjadi indah.