Agama sebagai Inspirasi Seni Modern: Studi Filosofis atas Film Noah (2014) Pendahuluan Dalam lintasan sejarah peradaban, agama sela...
Agama sebagai Inspirasi Seni Modern: Studi Filosofis atas Film Noah (2014)
Pendahuluan
Dalam lintasan sejarah peradaban, agama selalu menjadi sumber inspirasi utama bagi lahirnya seni. Di era modern, seni tidak lagi dimaknai sekadar ekspresi estetis, melainkan juga ruang tafsir atas makna keberadaan manusia. Salah satu wujud paling menonjol dari relasi antara agama dan seni modern tampak dalam film Noah (2014), garapan Darren Aronofsky. Film ini menggugah pertanyaan mendasar tentang relasi manusia, Tuhan, dan alam—sebuah tema yang diambil dari kisah klasik Nabi Nuh, namun diolah dalam bingkai simbolik-filosofis.
Agama dan Ruang Imajinasi Seni
Seni modern memiliki kecenderungan menggali sisi terdalam spiritualitas manusia tanpa harus terikat secara literal pada teks-teks agama. Al-Qur’an sendiri menegaskan bahwa tanda-tanda kebesaran Tuhan dapat ditemukan dalam alam dan peristiwa kehidupan. Allah ﷻ berfirman:
إِنَّ فِي خَلْقِ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ وَاخْتِلَافِ اللَّيْلِ وَالنَّهَارِ لَآيَاتٍ لِأُولِي الْأَلْبَابِ
“Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal.” (QS. Āli ‘Imrān [3]: 190)
Menurut Ibn ‘Āsyūr dalam al-Taḥrīr wa al-Tanwīr, ayat ini bukan hanya ajakan untuk merenung secara ilmiah, tetapi dorongan bagi manusia agar mampu membaca tanda-tanda ilahi dengan mata batin. Seni modern, dalam konteks ini, menjadi bentuk tafakkur kontemporer—sebuah perenungan eksistensial yang mencari makna ilahi melalui medium visual dan emosional.
Film Noah dan Tafsir Simbolik Kisah Nuh
Film Noah bukanlah representasi literal kisah Nabi Nuh sebagaimana terdapat dalam Al-Qur’an atau Alkitab. Darren Aronofsky mengolahnya menjadi narasi filosofis yang mengangkat tema kerusakan moral, ekologi, dan tanggung jawab manusia terhadap bumi. Sosok Nuh digambarkan bukan semata nabi pembawa wahyu, tetapi manusia yang berjuang menafsirkan kehendak Tuhan di tengah kehancuran dunia.
Meski mendapat kritik keras dari kalangan teolog, film ini justru memperlihatkan bagaimana kisah kenabian tetap hidup di ruang imajinasi modern. Ia tidak lagi dipahami secara dogmatis, tetapi melalui tafsir simbolik: air sebagai purifikasi, bahtera sebagai penyelamatan spiritual, dan banjir sebagai metafor kehancuran moral manusia. Semuanya berakar pada gagasan religius tentang tazkiyatun nafs—penyucian diri dari keserakahan.
Dalam Al-Qur’an, kisah Nuh digambarkan dengan nada peringatan yang dalam:
فَكَذَّبُوهُ فَأَنجَيْنَاهُ وَمَن مَّعَهُ فِي الْفُلْكِ وَجَعَلْنَاهُمْ خَلَائِفَ وَأَغْرَقْنَا الَّذِينَ كَذَّبُوا بِآيَاتِنَا ۖ فَانظُرْ كَيْفَ كَانَ عَاقِبَةُ الْمُنذَرِينَ
“Maka mereka mendustakannya; lalu Kami selamatkan dia dan orang-orang yang bersamanya di dalam bahtera, dan Kami jadikan mereka khalifah-khalifah di bumi, serta Kami tenggelamkan orang-orang yang mendustakan ayat-ayat Kami. Maka perhatikanlah bagaimana kesudahan orang-orang yang diberi peringatan itu.” (QS. Yūnus [10]: 73)
Ibn ‘Āsyūr menafsirkan ayat ini sebagai penegasan bahwa penyelamatan tidak hanya bersifat fisik, melainkan spiritual. Bahtera adalah simbol umat yang bertahan di tengah gelombang fitnah dan kesesatan. Dalam film Noah, simbolisme ini dihidupkan kembali dengan bahasa sinematik yang kuat: manusia kehilangan kesadaran ilahiah, lalu alam menjadi saksi murka dan rahmat Tuhan sekaligus.
Dialog antara Agama dan Seni Modern
Karya seni seperti Noah menunjukkan bahwa agama dan seni tidak perlu dipertentangkan. Agama memberi arah moral dan nilai spiritual, sedangkan seni memberi bentuk ekspresif bagi pencarian makna tersebut. Di sinilah letak pentingnya membaca seni modern secara hermeneutik, bukan hanya estetis. Sebagaimana Ibn ‘Āsyūr menekankan, pemahaman terhadap tanda-tanda ilahi membutuhkan “fikiran yang luas dan pandangan yang halus terhadap makna-makna kehidupan.”
Dengan begitu, seni modern yang terinspirasi oleh agama bukanlah bentuk penyimpangan, melainkan tafsir alternatif terhadap pesan-pesan ketuhanan yang bersifat universal. Film Noah hanyalah satu contoh bagaimana narasi kenabian dapat diterjemahkan dalam bahasa visual yang relevan bagi manusia kontemporer.
Penutup
Kisah Nuh bukan sekadar cerita banjir besar; ia adalah cermin bagi setiap zaman ketika manusia lupa batas antara kekuasaan dan kehancuran. Film Noah mengingatkan kembali bahwa seni dapat menjadi sarana renungan spiritual. Aronofsky, meski bukan teolog, menangkap getaran moral dari kisah itu: bahwa penyelamatan sejati bukan pada bahtera kayu, tetapi pada kesadaran manusia untuk kembali kepada nilai-nilai ilahiah.
Agama dan seni modern sesungguhnya berjalan di jalan yang sama—mencari makna di tengah absurditas dunia. Dalam keheningan layar sinema, manusia diajak menatap kembali hakikat dirinya: makhluk fana yang diberi peluang untuk memperbaiki bumi sebelum tenggelam dalam banjir moralnya sendiri.
Refleksi ini, jika dibaca dengan mata iman dan akal, memperlihatkan bagaimana agama tetap menjadi sumber cahaya yang abadi bagi seni. Sebagaimana firman Allah ﷻ:
اللَّهُ نُورُ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ ۚ مَثَلُ نُورِهِ كَمِشْكَاةٍ فِيهَا مِصْبَاحٌ
“Allah adalah cahaya langit dan bumi. Perumpamaan cahaya-Nya adalah seperti sebuah ceruk yang di dalamnya ada pelita.” (QS. An-Nūr [24]: 35)
Menurut Ibn ‘Āsyūr, cahaya dalam ayat ini adalah simbol pengetahuan dan petunjuk. Jika seni berangkat dari cahaya ini, maka setiap karya—termasuk film modern—dapat menjadi jembatan menuju pemahaman spiritual yang lebih dalam. Maka, agama tidak kehilangan relevansi di hadapan seni; justru dari sanalah seni menemukan jiwanya.
Referensi
- Ibn ‘Āsyūr, Muhammad al-Ṭāhir. Al-Taḥrīr wa al-Tanwīr. Tunis: Dār al-Tunīsiyyah, 1984.
- Al-Qur’an al-Karīm.
- Darren Aronofsky (Director). Noah [Film]. Paramount Pictures, 2014.
- Nasr, Seyyed Hossein. Islamic Art and Spirituality. Cambridge: Islamic Texts Society, 1987.
- Eliade, Mircea. The Sacred and The Profane. New York: Harcourt, 1957.