Etika Perlawanan: Melawan Sistem Rusak dengan Elegansi dan Akal Sehat Perlawanan terhadap sistem yang rusak bukanlah tindakan ...
Etika Perlawanan: Melawan Sistem Rusak dengan Elegansi dan Akal Sehat
Perlawanan terhadap sistem yang rusak bukanlah tindakan destruktif, melainkan upaya menjaga martabat akal dan nurani manusia. Dalam sejarah peradaban Islam, kritik terhadap struktur sosial yang timpang selalu muncul dari hati yang tercerahkan dan pikiran yang terbimbing wahyu. Dunia modern, dengan segala kompleksitas algoritmiknya, menuntut bentuk perlawanan baru—bukan melalui kekerasan, tetapi melalui elegansi berpikir, keberanian moral, dan kesadaran spiritual yang jernih.
Di tengah arus manipulasi dan dominasi institusional, manusia dihadapkan pada paradoks: bekerja untuk sistem yang merusak dirinya sendiri. Dalam konteks ini, refleksi etis dan teologis menjadi keharusan. Sebagaimana pepatah modern menyindir, “Di zaman dulu manusia bekerja untuk uang. Di zaman sekarang, manusia bekerja untuk algoritma — bahkan tanpa sadar.” Ungkapan ini menggambarkan kehilangan kendali eksistensial akibat ketundukan terhadap struktur ekonomi dan teknologi yang tak berjiwa.
Landasan Teoretis
Ali Shariati menegaskan bahwa Islam sejatinya adalah “mazhab kesadaran dan pembebasan,” bukan sekadar ritual sosial yang beku. Dalam pandangannya, tauhid tidak hanya berarti keesaan Tuhan, tetapi juga penolakan terhadap segala bentuk perbudakan sosial dan kultural. Dengan demikian, perlawanan terhadap sistem rusak menjadi manifestasi teologis dari makna tauhid itu sendiri.
Muhammad Iqbal menambahkan dimensi filosofis dengan menyebut bahwa “iman sejati adalah energi kreatif yang membebaskan manusia dari stagnasi.” Iqbal melihat kebangkitan umat Islam bukan dari dogma statis, melainkan dari gerak spiritual yang dinamis.
Sementara Fazlur Rahman memandang bahwa reformasi Islam harus berangkat dari “double movement”: kembali ke Al-Qur’an secara historis dan menerapkannya kembali secara kontekstual dalam realitas modern.
Ketiga tokoh ini meletakkan fondasi etis untuk memahami bahwa melawan sistem rusak bukanlah sikap anarkis, melainkan kesadaran spiritual yang berpijak pada keadilan dan rasionalitas.
Analisa Ushul Fiqh
Dalam perspektif ushul fiqh, perlawanan terhadap kebobrokan sistem dapat dipahami melalui beberapa kaidah pokok.
Kaidah Pertama: المصلحة المرسلة (al-maṣlaḥah al-mursalah) menekankan pentingnya kemaslahatan umum sebagai dasar hukum. Melawan sistem yang menindas berarti menjaga maqāṣid al-syarī‘ah: melindungi agama, akal, jiwa, harta, dan keturunan. Jika suatu institusi menyalahi prinsip-prinsip ini, maka penolakan terhadapnya justru merupakan wujud keimanan.
Kaidah Kedua: درء المفاسد مقدم على جلب المصالح (dar’ al-mafāsid muqaddam ‘alā jalb al-maṣāliḥ)—menghindari kerusakan lebih diutamakan daripada meraih kemaslahatan. Ketika sistem yang rusak menimbulkan kerusakan moral dan sosial, maka membiarkannya berarti melanggengkan mafsadah yang lebih besar.
Kaidah Ketiga: تغير الأحكام بتغير الأزمان والأمكنة (taghayyur al-aḥkām bi taghayyur al-azmān wa al-amkīn) mengajarkan bahwa hukum dan sikap sosial dapat berubah mengikuti perkembangan zaman dan tempat. Oleh karena itu, bentuk perlawanan hari ini tidak harus bersenjata, melainkan berbentuk literasi, etika digital, dan kesadaran sosial yang mencerdaskan.
Dalil Al-Qur’an dan Tafsir
Allah berfirman:
وَلَا تَرْكَنُوا إِلَى الَّذِينَ ظَلَمُوا فَتَمَسَّكُمُ النَّارُ وَمَا لَكُم مِّن دُونِ اللَّهِ مِنْ أَوْلِيَاءَ ثُمَّ لَا تُنصَرُونَ
“Dan janganlah kamu cenderung kepada orang-orang yang zalim, yang menyebabkan kamu disentuh api neraka, dan sekali-kali kamu tiada mempunyai pelindung selain Allah, kemudian kamu tidak akan diberi pertolongan.” (QS. Hūd [11]: 113)
Menurut Ibn ‘Āsyūr dalam at-Taḥrīr wa at-Tanwīr, ayat ini menegaskan larangan bersikap pasif terhadap kezaliman. Ibn ‘Āsyūr menafsirkan “al-rukūn” sebagai kecenderungan hati yang menumbuhkan sikap permisif terhadap tirani. Dengan kata lain, keheningan terhadap kebobrokan sosial adalah bentuk dukungan moral terhadapnya.
Ayat lain menyatakan:
إِنَّ اللَّهَ يَأْمُرُ بِالْعَدْلِ وَالْإِحْسَانِ وَإِيتَاءِ ذِي الْقُرْبَىٰ وَيَنْهَىٰ عَنِ الْفَحْشَاءِ وَالْمُنكَرِ وَالْبَغْيِ
“Sesungguhnya Allah menyuruh (manusia) berlaku adil dan berbuat kebajikan, memberi kepada kaum kerabat, dan melarang dari perbuatan keji, kemungkaran dan permusuhan.” (QS. an-Naḥl [16]: 90)
Al-Ghazali menafsirkan ayat ini sebagai inti dari seluruh syariat: keadilan sebagai pondasi, ihsan sebagai puncak akhlak, dan larangan atas keburukan sebagai penjaga keseimbangan sosial. Maka melawan sistem rusak bukan semata politis, tetapi manifestasi ihsan dalam ranah sosial.
Hadis dan Penafsiran Kontekstual
Rasulullah ﷺ bersabda: “Sebaik-baik jihad adalah kalimat yang benar di hadapan penguasa yang zalim.” (HR. Abu Dawud)
Dalam tafsir kontekstual, hadis ini tidak hanya berbicara tentang keberanian verbal, tetapi tentang tanggung jawab intelektual. Mengungkap kebenaran melalui tulisan, riset, atau tindakan sosial yang beradab merupakan bentuk jihad yang relevan di era digital. Perlawanan elegan berarti melawan dengan akal, bukan amarah; dengan cinta kebenaran, bukan kebencian buta.
Analisis Kontekstual
Dalam realitas kontemporer, sistem yang rusak tidak selalu tampil sebagai tirani politik, melainkan dalam bentuk algoritma ekonomi dan media yang membentuk kesadaran palsu. Manusia modern sering terjebak dalam kenyamanan yang menipu, menganggap kebebasan konsumsi sebagai kebebasan sejati. Padahal, yang terjadi adalah domestikasi pikiran melalui budaya digital yang kapitalistik.
Melawan sistem semacam ini menuntut dua hal: kebijaksanaan intelektual dan keanggunan moral. Gerakan literasi, advokasi keadilan sosial, dan etika digital merupakan bentuk perlawanan yang kontekstual, rasional, dan berkelas. Di sinilah nilai ushul fiqh menunjukkan keindahan fleksibilitasnya—bahwa hukum Islam tidak kaku, melainkan hidup dan bergerak bersama akal manusia.
Penutup Reflektif
Perlawanan sejati bukan tentang menghancurkan, melainkan menghidupkan kembali kesadaran. Elegansi dalam melawan adalah bentuk tertinggi dari iman, karena ia berakar dari cinta terhadap kebenaran dan belas kasih terhadap manusia. Dalam dunia yang dirusak oleh keserakahan institusional dan kebisuan moral, tugas manusia beriman adalah menegakkan keadilan tanpa kehilangan keindahan akhlak.
Ketika akal, nurani, dan wahyu bersatu, perlawanan menjadi doa; dan setiap langkah menuju kebenaran adalah ibadah. Sebab keanggunan sejati bukan pada siapa yang berkuasa, tetapi pada siapa yang mampu menjaga hatinya tetap jernih di tengah kebisingan dunia.
Daftar Referensi
Al-Ghazali, Abu Hamid. Ihya’ ‘Ulum al-Din. Beirut: Dar al-Ma‘rifah, 2002.
Ibn ‘Āsyūr, Muhammad Tahir. At-Taḥrīr wa at-Tanwīr. Tunis: Dar al-Tunisiyyah, 1984.
Shariati, Ali. Man and Islam. Tehran: Shariati Foundation, 1980.
Iqbal, Muhammad. The Reconstruction of Religious Thought in Islam. Lahore: Ashraf Press, 1934.
Rahman, Fazlur. Islam and Modernity: Transformation of an Intellectual Tradition. Chicago: University of Chicago Press, 1982.
Abu Dawud, Sulaiman. Sunan Abi Dawud. Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1990.