Ijtihad di Tengah Simulakra Modernitas: Tatbiq Sosial dalam Keadilan Gender dan Etika Lingkungan Oleh: Robby Andoyo Pendahuluan Dal...
Ijtihad di Tengah Simulakra Modernitas: Tatbiq Sosial dalam Keadilan Gender dan Etika Lingkungan
Oleh: Robby Andoyo
Pendahuluan
Dalam dunia yang penuh dengan simulakra modernitas — di mana realitas dan kepalsuan kerap sulit dibedakan — manusia menghadapi tantangan baru dalam menafsirkan nilai-nilai Islam. Kemajuan teknologi, wacana kebebasan, serta penetrasi media sosial telah membentuk struktur sosial baru yang sering kali menjauhkan manusia dari esensi syariat. Namun di sisi lain, realitas ini justru menuntut munculnya ijtihad-ijtihad baru yang relevan dengan zaman, tanpa kehilangan akar moral dan maqāṣid syarī‘ah. Di sinilah hukum Islam ditantang untuk tidak hanya bersifat normatif, tetapi juga aplikatif dan kontekstual.
Landasan Teoretis
Ulama klasik seperti Imam al-Ghazali dalam Ihya’ Ulumuddin menjelaskan bahwa maqāṣid syarī‘ah bertujuan menjaga lima aspek dasar manusia: agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta. Ibn Qayyim al-Jawziyyah menegaskan bahwa seluruh hukum syariat berlandaskan pada keadilan, rahmat, dan kemaslahatan. Sementara itu, Ibn ‘Āshūr dalam at-Taḥrīr wa at-Tanwīr menafsirkan maqāṣid bukan sekadar perangkat hukum, tetapi sebagai spirit peradaban Islam agar mampu beradaptasi dengan perubahan sosial secara bijak.
Dalam konteks modern, ulama seperti Yusuf al-Qaradawi dan Fazlur Rahman menekankan pentingnya ijtihad intiqā’ī (ijtihad selektif) yang memadukan warisan klasik dengan analisis sosial kontemporer. Menurut mereka, ijtihad sejati bukan hanya menjawab masalah baru, tetapi juga menata ulang cara berpikir umat agar selaras dengan prinsip keadilan dan kemaslahatan universal.
Analisa Ushul Fiqh
Dalam kajian ushul fiqh, terdapat beberapa kaidah yang relevan untuk membaca ulang realitas modern:
1. Al-Masyaqqah Tajlibut-Taysir — Kesulitan membawa kemudahan. Prinsip ini menjadi dasar fleksibilitas hukum Islam dalam menghadapi dinamika modernitas, seperti pekerjaan perempuan di ruang publik atau penerapan teknologi ramah lingkungan.
2. Dar’ul Mafasid Muqaddam ‘ala Jalbil Masalih — Menghindari kerusakan lebih utama daripada mencari kemaslahatan. Kaidah ini menjadi pijakan bagi pengambilan keputusan etika lingkungan, termasuk pengendalian polusi dan eksploitasi alam yang berlebihan.
3. Al-‘Adlu Asasun Lil-Hukm — Keadilan adalah fondasi hukum. Ibn ‘Āshūr menafsirkan dalam at-Taḥrīr wa at-Tanwīr bahwa keadilan merupakan asas universal syariat yang harus diwujudkan pada setiap konteks sosial, termasuk relasi gender dan distribusi sumber daya alam.
4. Al-Hukmu Yaduru Ma‘a ‘Illatihi Wujudan wa ‘Adaman — Hukum itu bergantung pada ‘illah-nya. Jika sebab berubah, maka hukumnya pun dapat berubah. Ini menjadi dasar bagi ijtihad dalam isu-isu baru seperti hak reproduksi perempuan atau kebijakan ekonomi hijau.
5. Taghayyur al-Ahkam bi Taghayyur al-Azminah wal-Amkinah — Hukum dapat berubah mengikuti perubahan waktu dan tempat. Kaidah ini membenarkan adaptasi syariat terhadap realitas sosial baru, termasuk dunia digital dan perubahan ekologi global.
Dalil Qur’an dan Tafsir
﴿وَمَا جَعَلَ عَلَيْكُمْ فِي الدِّينِ مِنْ حَرَجٍ﴾
“Dan Dia tidak menjadikan untukmu kesempitan dalam agama.” (QS. Al-Hajj [22]: 78)
Tafsir Ibn ‘Āshūr menjelaskan bahwa ayat ini menunjukkan bahwa syariat bersifat inklusif dan progresif, karena Allah tidak menghendaki kesempitan bagi manusia. Artinya, hukum Islam harus mampu memberikan ruang bagi kemudahan dan adaptasi tanpa kehilangan nilai dasarnya.
﴿إِنَّ اللّهَ يَأْمُرُ بِالْعَدْلِ وَالإِحْسَانِ﴾
“Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) berlaku adil dan berbuat kebajikan.” (QS. An-Nahl [16]: 90)
Ayat ini dijadikan dasar normatif bahwa keadilan adalah tujuan tertinggi hukum. Ibn ‘Āshūr menafsirkan bahwa adil tidak hanya berarti menempatkan sesuatu pada tempatnya, tetapi juga menyesuaikan hukum dengan konteks sosial agar menghasilkan keseimbangan kemanusiaan.
﴿وَلَا تُفْسِدُوا فِي الْأَرْضِ بَعْدَ إِصْلَاحِهَا﴾
“Dan janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi setelah Allah memperbaikinya.” (QS. Al-A‘rāf [7]: 56)
Ibn ‘Āshūr menegaskan bahwa ayat ini tidak hanya berbicara tentang kerusakan ekologis, tetapi juga kerusakan moral dan spiritual. Menjaga alam berarti menjaga tatanan sosial dan akhlak manusia, sebab manusia adalah khalifah yang bertanggung jawab atas keseimbangan bumi.
Dalil Hadis
قال رسول الله ﷺ: «إِنَّ اللَّهَ جَمِيلٌ يُحِبُّ الْجَمَالَ» (رواه مسلم)
“Sesungguhnya Allah itu indah dan mencintai keindahan.” (HR. Muslim)
Hadis ini menegaskan nilai estetika dalam etika Islam, termasuk dalam tata kelola sosial dan lingkungan. Keindahan yang dimaksud tidak terbatas pada fisik, tetapi juga keteraturan moral, sosial, dan ekologis.
قال رسول الله ﷺ: «كُلُّكُمْ رَاعٍ وَكُلُّكُمْ مَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ» (متفق عليه)
“Setiap kalian adalah pemimpin dan setiap kalian akan dimintai pertanggungjawaban atas yang dipimpinnya.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Hadis ini memberikan legitimasi kuat bagi tanggung jawab sosial dan ekologis manusia. Dalam konteks modern, ia dapat diartikan sebagai panggilan etis untuk melindungi perempuan dari diskriminasi dan melestarikan alam dari eksploitasi kapitalistik.
Tatbiq Sosial
A. Keadilan Gender Kontemporer
Contoh nyata keadilan gender hari ini adalah keterlibatan perempuan dalam jabatan publik dan kebijakan negara. Di berbagai negara Muslim, perempuan kini menjadi bagian aktif dari pembuat kebijakan publik tanpa mengingkari nilai-nilai syariat. Hal ini merupakan bentuk aktualisasi maqāṣid ḥifẓ al-‘aql dan ḥifẓ al-nafs dalam konteks sosial modern.
Ibn ‘Āshūr menegaskan bahwa keadilan ('adl) tidak dapat dikurung oleh tafsir literal yang mengabaikan maslahat. Bila perempuan memiliki kompetensi, maka menolak kehadirannya di ruang publik justru bertentangan dengan maqāṣid syarī‘ah. Pandangan ini sejalan dengan semangat Al-Qur’an yang menekankan kesetaraan tanggung jawab dan pahala antara laki-laki dan perempuan.
Tatbiq hukumnya dapat berupa pembaruan regulasi negara Islam agar menghapus diskriminasi berbasis gender, termasuk memberikan perlindungan hukum bagi perempuan yang menjadi korban kekerasan domestik dan digital. Ini bukan westernisasi, melainkan aktualisasi nilai Islam yang sejati: menegakkan keadilan dan kemuliaan manusia.
B. Etika Lingkungan dalam Perspektif Syariat
Modernitas sering menciptakan ilusi kemajuan melalui penguasaan teknologi, padahal manusia sering kali mempercepat kerusakan alam. Polusi udara, deforestasi, dan eksploitasi sumber daya menjadi bukti bahwa modernitas sering gagal menjaga keseimbangan ekologis. Ini adalah bentuk simulakra: kemajuan yang menipu kesadaran manusia tentang tanggung jawabnya terhadap bumi.
Dalam tafsir Ibn ‘Āshūr, perintah menjaga bumi adalah bagian dari maqāṣid ḥifẓ al-māl dan ḥifẓ al-nafs. Alam adalah amanah, bukan objek eksploitatif. Oleh karena itu, penerapan hukum Islam di era modern dapat dilakukan melalui kebijakan pajak karbon, regulasi industri halal berkelanjutan, dan lembaga wakaf lingkungan yang dikelola secara transparan dan profesional.
Penerapan praktis (tatbiq) dari nilai ini dapat dilakukan dengan menjadikan isu lingkungan sebagai bagian dari fiqh sosial modern — di mana menjaga ekosistem berarti menegakkan keadilan dan keberlanjutan hidup manusia di bumi.
Penutup Reflektif
Ijtihad dalam era simulakra modernitas bukan sekadar mencari hukum baru, tetapi menghidupkan kembali ruh moral Islam di tengah kepalsuan zaman. Dunia hari ini sering menukar kebenaran dengan citra, dan menukar makna dengan sensasi. Maka tugas hukum Islam adalah mengembalikan substansi spiritual dalam wujud sosialnya: keadilan, keseimbangan, dan tanggung jawab. Di zaman dulu manusia bekerja untuk uang. Di zaman sekarang, manusia bekerja untuk algoritma — bahkan tanpa sadar.
Daftar Referensi
1. Al-Ghazali, Ihya’ Ulumuddin.
2. Ibn Qayyim al-Jawziyyah, Madarij as-Salikin.
3. Yusuf al-Qaradawi, Fiqh al-Awlawiyyat.
4. Fazlur Rahman, Islam and Modernity.
5. Ibn ‘Āshūr, at-Taḥrīr wa at-Tanwīr.
6. Malik ibn Anas, Al-Muwaththa’.
7. Muslim ibn al-Hajjaj, Sahih Muslim.
8. Al-Qur’an al-Karim.