Kritik atas Orientasi Duniawi dalam Ibadah Haji dan Umrah Kritik atas Orientasi Duniawi dalam Ibadah Haji...
Kritik atas Orientasi Duniawi dalam Ibadah Haji dan Umrah: Sebuah Refleksi Akademik
Ibadah haji dan umrah merupakan ritual puncak spiritual umat Islam, yang memuat dimensi teologis, sosial, dan etis. Namun dalam praktik kontemporer, terdapat kecenderungan komersialisasi: haji dan umrah dipromosikan sebagai simbol status, dan beberapa tokoh berilmu terjebak memanfaatkan ritual ini untuk keuntungan materi atau citra sosial. Artikel ini mengkritik orientasi tersebut dan menegaskan kembali substansi ritual haji-umrah sebagai panggilan etis dan spiritual.
Landasan Qur’ani tentang Kemurnian Ibadah
1. Kemurnian niat dalam beribadah
وَمَا أُمِرُوا إِلَّا لِيَعْبُدُوا اللَّهَ مُخْلِصِينَ لَهُ الدِّينَ حُنَفَاءَ
“Padahal mereka tidak diperintahkan kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama yang lurus.” (QS. Al-Bayyinah: 5).
Tafsir klasik (Al-Tabari): Ayat ini menegaskan bahwa ibadah hanya sah bila disertai keikhlasan; segala pencampuran tujuan duniawi mengurangi nilai spiritual amal.
Tafsir modern (Fazlur Rahman): Keikhlasan juga dimaknai sebagai pembebasan dari struktur sosial yang menjadikan praktik agama sekadar simbol prestise—agama seharusnya membentuk kesadaran moral, bukan status.
2. Kecaman terhadap riya dan kesombongan
فَوَيْلٌ لِّلْمُصَلِّينَۜ ٱلَّذِينَ هُمْ عَن صَلَاتِهِمْ سَـٰهُونَۜ ٱلَّذِينَ هُمْ يُرَآءُونَ
“Maka celakalah orang-orang yang shalat, (yaitu) mereka yang lalai dalam shalatnya, yang berbuat riya.” (QS. Al-Ma’un: 4–6).
Tafsir Ibn Kathir: Riya adalah penyakit hati yang dapat membatalkan pahala amal dan merusak tujuan ibadah.
Tafsir kontemporer (Quraish Shihab): Riya merupakan manipulasi spiritual: ibadah dijadikan alat pencitraan sehingga kehilangan relasi langsung dengan Tuhan.
3. Haji sebagai amanah etis, bukan prestise
وَأَذِّنْ فِي النَّاسِ بِالْحَجِّ يَأْتُوكَ رِجَالًا وَعَلَىٰ كُلِّ ضَامِرٍ يَأْتِينَ مِن كُلِّ فَجٍّ عَمِيقٍ
“Dan berserulah kepada manusia untuk mengerjakan haji, niscaya mereka akan datang kepadamu dengan berjalan kaki, dan mengendarai setiap unta yang kurus, mereka datang dari segenap penjuru yang jauh.” (QS. Al-Hajj: 27).
Tafsir Al-Qurtubi: Ayat ini menekankan kesungguhan dan pengorbanan dalam menunaikan haji—bukan pencapaian status sosial.
Tafsir kontemporer (Abdolkarim Soroush): Haji merupakan panggilan transendental yang menguji kesiapan manusia meninggalkan kemewahan demi penghambaan total kepada Tuhan.
Hadis Nabi sebagai Kritik atas Orientasi Duniawi
1. Tentang niat ibadah
Innamal a‘mālu bin-niyyāt, wa innamā likulli imri’in mā nawā. (HR. Bukhari-Muslim)
“Sesungguhnya amal itu tergantung niatnya, dan setiap orang hanya mendapatkan sesuai apa yang ia niatkan.” Hadis ini menjadi landasan etis untuk mengevaluasi orientasi pelaku ibadah. Secara modern, hadis ini menentang praktik ritual yang dimotivasi oleh status sosial atau keuntungan materi—karena pahala dan makna ibadah mutlak terkait niat.
2. Larangan menjadikan haji sebagai kebanggaan sosial
Dalam beberapa riwayat, Nabi melarang perjalanan haji yang bertujuan untuk pamer atau riya. (Contoh riwayat terkait terdapat pada karya-karya hadits seperti Sunan Baihaqi).
Analisis modern: larangan ini relevan dengan kritik terhadap industri spiritual yang menjual pengalaman religius sebagai produk citra—di mana tokoh berilmu bisa menjadi fasilitator tanpa menyampaikan substansi moral haji.
3. Haji sebagai jihad tanpa peperangan
Al-hajju jihadun, wal-umratu tathawwu‘un. (HR. Ahmad)
Haji dipandang sebagai bentuk perjuangan moral dan eksistensial. Dalam semangat modernitas, hal ini mengingatkan bahwa haji harus menggerakkan transformasi diri dan komitmen sosial, bukan sekadar rekam jejak perjalanan.
Pandangan Ulama Kontemporer
Beberapa pemikir modern mengkritik praktik haji-umrah yang sarat orientasi duniawi:
- Ali Shariati: Menegaskan haji sebagai revolusi eksistensial; ketika haji menjadi turisme religius, ia kehilangan kekuatan transformatifnya.
- Fazlur Rahman: Mengkritik kecenderungan menjadikan simbol ibadah sebagai pangkat sosial—agama harus membentuk kesadaran moral, bukan kemegahan.
- KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur): Mengingatkan bahwa gelar “Haji” sering menjadi label sosial tanpa diikuti perubahan moral dan tanggung jawab sosial.
Refleksi: Haji dan Umrah sebagai Cermin Kehidupan Muslim
Haji dan umrah seharusnya menjadi wahana refleksi tentang bagaimana seorang Muslim menjalani hidup: sebagai bentuk penghambaan, pembebasan dari ego, dan penguatan solidaritas kemanusiaan. Ketika ritual ini direduksi menjadi rutinitas kosong—semata-mata berharap gelar Haji—nilai transendentalnya hilang.
Praktik keilmuan juga dipanggil untuk mengambil peran etis: ulama dan intelektual yang mempromosikan haji-umrah harus menyertakan pendidikan spiritual dan sosial bagi jamaah, bukan sekadar paket perjalanan yang menekankan kenyamanan dan citra. Tanggung jawab keilmuan adalah mengembalikan makna ritual kepada konteks kemaslahatan umum.
Kesimpulan
Ibadah haji dan umrah adalah panggilan eksistensial, bukan panggung duniawi. Mengubahnya menjadi simbol prestise dan komoditas material merendahkan pesan transendental yang diwariskan Al-Qur'an dan Sunnah. Ulama dan cendekiawan Muslim berkewajiban menegaskan kembali substansi ritual—keikhlasan, pengorbanan, dan tanggung jawab sosial—agar gelar haji menjadi penanda transformasi moral, bukan sekadar label sosial.
Referensi
- Al-Qur'an al-Karim
- Al-Tabari, Jami‘ al-Bayan fi Ta’wil al-Qur’an
- Ibn Kathir, Tafsir al-Qur’an al-‘Azim
- Al-Qurtubi, Al-Jami‘ li Ahkam al-Qur’an
- Fazlur Rahman, Islam and Modernity
- Ali Shariati, Hajj
- Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbah
- Abdurrahman Wahid, Islamku, Islam Anda, Islam Kita