Otentisitas Diri di Tengah Kepalsuan Modern: Sebuah Refleksi Etis dalam Perspektif Islam Oleh: Robby Andoyo Pendahuluan Dunia mo...
Otentisitas Diri di Tengah Kepalsuan Modern: Sebuah Refleksi Etis dalam Perspektif Islam
Oleh: Robby Andoyo
Pendahuluan
Dunia modern menjanjikan kemajuan, tetapi sering kali menyembunyikan jebakan. Manusia hidup di tengah pusaran citra, algoritma, dan pencitraan diri yang kian jauh dari hakikat kemanusiaannya. Banyak yang merasa harus menjadi orang lain demi diterima. Dalam situasi ini, muncul pertanyaan mendasar: bagaimana Islam memandang perjuangan untuk tetap otentik — menjadi diri sendiri — di tengah dunia yang penuh kepalsuan dan jerat nafsu duniawi?
Fenomena ini bukan hanya persoalan sosial, tetapi juga spiritual. Menjadi diri sendiri bukan sekadar tindakan psikologis, melainkan perjalanan epistemik menuju makna “insan” sebagaimana dimaksud Al-Qur’an: makhluk yang sadar, bertanggung jawab, dan merdeka dari penjara syahwat serta ilusi dunia.
Landasan Teoretis: Perspektif Ulama Klasik dan Modern
Imam al-Ghazali
dalam Ihya’ Ulumuddin menjelaskan bahwa keaslian jiwa muncul ketika manusia mengenal dirinya dan menundukkan hawa nafsunya. Menurutnya, “Barang siapa mengenal dirinya, ia akan mengenal Tuhannya.” Keaslian diri, dalam konteks ini, berarti kebersihan hati dari riya’, ujub, dan pencitraan sosial yang menipu.
Ibn Qayyim al-Jawziyyah menambahkan bahwa manusia yang dikuasai hawa nafsu tidak lagi memiliki identitas sejati; ia menjadi budak dari sesuatu yang semu. SementaraYusuf al-Qaradawi
dalam Fiqh al-Awlawiyyat menyebut bahwa manusia modern kehilangan keseimbangan karena memuja materi dan melupakan ruh. Islam, menurutnya, bukan menolak kemajuan, tetapi menegaskan prioritas moral agar kemajuan tidak menghancurkan kemanusiaan.Fazlur Rahman,
seorang pemikir Islam kontemporer, mengkritik budaya imitasi yang menafikan kreativitas dan tanggung jawab moral. Bagi Rahman, keislaman yang sejati adalah ketika manusia mampu menghadirkan nilai-nilai ilahiah dalam konteks sosial yang dinamis — bukan sekadar meniru simbol keagamaan secara lahiriah.Analisa Ushul Fiqh
Untuk memahami keaslian diri dalam bingkai Islam, perlu dikaji melalui beberapa kaidah ushul fiqh dan dalil Al-Qur’an yang menegaskan nilai kemerdekaan moral manusia.
1. Kaidah “At-Taklīf bimā Yustaṭā‘”Kewajiban syariat selalu disesuaikan dengan kemampuan manusia. Menjadi diri sendiri bukan berarti bebas tanpa batas, tetapi menemukan keseimbangan antara potensi dan tanggung jawab.
2. Kaidah “Dar’ al-Mafāsid Muqaddam ‘alā Jalb al-Maṣāliḥ”
Menolak kerusakan lebih utama daripada mencari manfaat. Dalam konteks sosial media dan budaya pencitraan, menjaga kemurnian hati lebih penting daripada popularitas semu.
3. Kaidah “Al-Yaqīn Lā Yazūl bi asy-Syak”
Kepastian iman tidak boleh digantikan oleh keraguan sosial. Identitas spiritual harus berdiri di atas keyakinan, bukan validasi publik.4. Kaidah “Al-‘Ādah Muḥakkamah”
Tradisi boleh menjadi sumber hukum selama tidak bertentangan dengan prinsip tauhid. Dalam masyarakat modern, ekspresi diri dapat diterima selama tidak melanggar nilai moral Islam.
5. Kaidah “Al-Masyaqqah Tajlib at-Taisīr”
Kesulitan hidup modern tidak boleh menjadi alasan untuk kehilangan jati diri. Justru di tengah tekanan sosial, Islam menghadirkan kelonggaran untuk menjaga kemanusiaan tanpa menggadaikan kejujuran spiritual.
Dalil Al-Qur’an
1. QS. Al-Syams [91]: 8–10
وَنَفْسٍ وَمَا سَوَّاهَا. فَأَلْهَمَهَا فُجُورَهَا وَتَقْوَاهَا. قَدْ أَفْلَحَ مَنْ زَكَّاهَا.
“Dan demi jiwa serta penyempurnaannya. Maka Allah mengilhamkan kepadanya jalan kefasikan dan ketakwaannya. Sungguh beruntung orang yang mensucikannya.”
Menurut Ibn ‘Āsyūr dalam at-Taḥrīr wa at-Tanwīr,ayat ini menunjukkan fitrah manusia yang memiliki potensi ganda: fujur dan taqwa. Otentisitas sejati lahir ketika manusia mengelola fitrah ini secara sadar — bukan menyingkirkannya, melainkan menundukkannya di bawah bimbingan akal dan wahyu.
2. QS. Al-Baqarah [2]: 286
لَا يُكَلِّفُ اللَّهُ نَفْسًا إِلَّا وُسْعَهَا
“Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya.”
Ayat ini menjadi fondasi bagi kaidah at-taklīf bimā yustaṭā‘. Manusia diminta menjadi dirinya yang terbaik dalam kapasitasnya, bukan memaksakan diri menjadi sosok yang bukan dirinya.
3. QS. Al-Hadīd [57]: 20
اعْلَمُوا أَنَّمَا الْحَيَاةُ الدُّنْيَا لَعِبٌ وَلَهْوٌ وَزِينَةٌ وَتَفَاخُرٌ بَيْنَكُمْ وَتَكَاثُرٌ فِي الْأَمْوَالِ وَالْأَوْلَادِ
“Ketahuilah bahwa kehidupan dunia hanyalah permainan, senda gurau, perhiasan, dan saling berbangga di antara kamu serta berlomba-lomba dalam kekayaan dan anak-anak.”
Ibn ‘Āsyūr menafsirkan ayat ini sebagai peringatan terhadap bahaya “tamaddun zā’if” — peradaban semu. Dunia bukan untuk disembah, melainkan dijadikan medan ujian untuk menakar keaslian iman.
Dalil Hadis
1. «لَا يَكُونُ الْمُؤْمِنُ كَذَّابًا»
“Seorang mukmin tidak akan menjadi pendusta.” (HR. Malik)
2. «مَنْ عَرَفَ نَفْسَهُ فَقَدْ عَرَفَ رَبَّهُ»
“Barang siapa mengenal dirinya, maka ia mengenal Tuhannya.” (Hadis mauquf yang dijelaskan maknanya oleh al-Ghazali dalam Ihya’)
Makna hadis ini bersifat spiritual: pengetahuan tentang diri adalah jalan menuju pengetahuan tentang Allah. Keaslian diri adalah bentuk ibadah batin.
3. «إِنَّ اللَّهَ لَا يَنْظُرُ إِلَى صُوَرِكُمْ وَلَا إِلَى أَمْوَالِكُمْ وَلَكِنْ يَنْظُرُ إِلَى قُلُوبِكُمْ وَأَعْمَالِكُمْ»
“Sesungguhnya Allah tidak melihat rupa dan harta kalian, tetapi Allah melihat hati dan amal kalian.” (HR. Muslim)
Hadis ini menjadi kritik keras terhadap budaya kepalsuan. Identitas sejati bukan terletak pada visualitas, tetapi pada moralitas dan integritas spiritual.
Analisis Kontekstual
Era digital melahirkan paradoks eksistensial: manusia dapat berbicara pada dunia, tetapi kehilangan diri sendiri. Algoritma media sosial menciptakan standar ilusi tentang kesempurnaan, kecantikan, dan kebahagiaan. Dalam kacamata Islam, ini adalah bentuk baru dari fitnah ad-dunyā — godaan dunia yang membungkus nafsu dengan estetika.
Dalam kerangka maqāṣid al-syarī‘ah, menjaga keaslian diri termasuk bagian dari hifz al-‘aql (menjaga akal) dan hifz ad-dīn (menjaga agama). Ketika manusia hidup dalam kepalsuan, akalnya tumpul dan agamanya kehilangan ruh.
Islam menawarkan jalan tengah: menerima modernitas tanpa kehilangan spiritualitas. Menjadi diri sendiri bukan menolak kemajuan, tetapi menempatkan nilai di atas citra.
Penutup Reflektif
Menjadi diri sendiri dalam pandangan Islam berarti kembali pada fitrah yang telah Allah ciptakan. Dunia boleh berubah, tetapi nurani harus tetap tegak. Kepalsuan sosial, pencitraan, dan nafsu duniawi hanyalah bayangan yang mengaburkan cahaya ruhani.
Kesadaran diri yang otentik adalah jalan menuju keimanan yang matang — iman yang tidak tergantung pada pujian manusia, tetapi pada keridhaan Ilahi. Seperti pesan Ibn ‘Āsyūr, “Manusia sejati adalah yang mampu mengembalikan dunia pada makna ibadah.”
Daftar Referensi
- Al-Ghazali, Ihya’ Ulumuddin.
- Ibn Qayyim al-Jawziyyah, Madarij as-Salikin.
- Yusuf al-Qaradawi, Fiqh al-Awlawiyyat.
- Fazlur Rahman, Islam and Modernity.
- Ibn ‘Āsyūr, at-Taḥrīr wa at-Tanwīr.
- Malik ibn Anas, Al-Muwaththa’.
- Muslim ibn al-Hajjaj, Sahih Muslim.
- Al-Qur’an al-Karim.