Pembodohan Massal Modern: Diri Palsu, Algoritma, dan Krisis Kesadaran Manusia Pendahuluan Di zaman dulu manusia bekerja untuk uang....
Pembodohan Massal Modern: Diri Palsu, Algoritma, dan Krisis Kesadaran Manusia
Pendahuluan
Di zaman dulu manusia bekerja untuk uang. Di zaman sekarang, manusia bekerja untuk algoritma — bahkan tanpa sadar. Kalimat ini merangkum paradoks peradaban modern: ketika manusia bukan lagi mengendalikan teknologi, tetapi justru dikendalikan olehnya. Dalam ruang digital, manusia menjelma menjadi data, perhatian berubah menjadi komoditas, dan eksistensi diukur melalui statistik interaksi. Fenomena ini bukan sekadar masalah teknologi, melainkan krisis kesadaran yang menuntun pada bentuk baru pembodohan massal — halus, sistematis, dan nyaris tak terasa.
Artikel ini mengurai realitas tersebut melalui perspektif teologis, psikologis, dan filosofis. Dengan memadukan tafsir Al-Qur’an, hadis, pemikiran Barat, dan refleksi ulama Muslim modern, tulisan ini berupaya menyingkap wajah baru dari hegemoni digital yang membentuk “diri palsu” dan memudarkan makna kemanusiaan.
1. Perspektif Al-Qur’an dan Tafsir Ibn ‘Ashur
Ayat 1:
وَلَا تَتَّبِعُوا خُطُوَاتِ الشَّيْطَانِ ۚ إِنَّهُ لَكُمْ عَدُوٌّ مُبِينٌ (البقرة: 168)
“Janganlah kamu mengikuti langkah-langkah setan. Sesungguhnya ia adalah musuh yang nyata bagimu.” (QS. Al-Baqarah [2]: 168)
Menurut Ibn ‘Ashur dalam At-Tahrir wa At-Tanwir, ayat ini bukan sekadar larangan moral, melainkan peringatan terhadap mekanisme halus yang menggiring manusia untuk kehilangan kendali atas kehendaknya. Dalam konteks modern, algoritma yang memanfaatkan dorongan psikologis manusia untuk terus berinteraksi tanpa sadar adalah bentuk “langkah setan” kontemporer — menggoda bukan lewat dosa langsung, tetapi melalui candu perhatian.
Ayat 2:
يَعْلَمُونَ ظَاهِرًا مِّنَ الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَهُمْ عَنِ الْآخِرَةِ هُمْ غَافِلُونَ (الروم: 7)
“Mereka hanya mengetahui yang lahir dari kehidupan dunia, sedangkan terhadap akhirat mereka lalai.” (QS. Ar-Rum [30]: 7)
Ibn ‘Ashur menafsirkan bahwa “zāhiran min al-hayāt al-dunyā” bermakna pengetahuan superfisial yang terputus dari makna hakiki. Dunia digital melahirkan manusia yang tahu banyak hal, tetapi tidak memahami satu pun secara mendalam. Informasi menumpuk, kesadaran menipis — dan inilah awal pembodohan massal.
Ayat 3:
وَفِي أَنفُسِكُمْ أَفَلَا تُبْصِرُونَ (الذاريات: 21)
“Dan pada dirimu sendiri, apakah kamu tidak memperhatikan?” (QS. Adz-Dzariyat [51]: 21)
Ayat ini menurut Ibn ‘Ashur adalah seruan agar manusia merenungi eksistensinya. Namun di era algoritma, refleksi diri tergantikan oleh refleksi layar. Manusia modern lebih mengenali wajah digitalnya daripada jati dirinya. Tafsir ini menjadi cermin: pembodohan modern bermula saat manusia berhenti melihat ke dalam dirinya.
2. Perspektif Hadis dan Interpretasi Modern
Hadis 1: “Akan datang suatu masa, di mana kebohongan dianggap kebenaran dan kebenaran dianggap kebohongan.” (HR. Ahmad)
Hadis ini relevan dengan era disinformasi algoritmik. Ketika popularitas menggantikan kebenaran, dan algoritma menilai “benar” dari seberapa banyak yang disukai, maka kebenaran kehilangan rumahnya. Modernitas digital menukar objektivitas dengan atensi.
Hadis 2: “Salah satu tanda kecil kiamat ialah ilmu dicabut dengan wafatnya ulama dan munculnya orang bodoh yang memberi fatwa tanpa ilmu.” (HR. Bukhari)
Interpretasi modern hadis ini tampak pada maraknya “influencer moral” tanpa otoritas ilmu. Pengetahuan dipendekkan menjadi opini viral, dan kebenaran menjadi fungsi dari popularitas. Inilah bentuk baru kebodohan: terorganisir, menarik, dan tersamarkan sebagai kebebasan berekspresi.
Hadis 3: “Agama itu nasihat.” (HR. Muslim)
Maknanya, inti dari agama adalah kesadaran etis. Namun di era algoritmik, nasihat bergeser menjadi konten, dan nilai bergeser menjadi angka. Agama kehilangan ruhnya ketika dijadikan tren visual, bukan lagi jalan penyadaran. Inilah titik di mana spiritualitas direduksi menjadi hiburan digital.
3. Pemikir Barat dan Krisis Identitas Digital
Michel Foucault melihat pengetahuan sebagai instrumen kekuasaan. Dalam konteks digital, algoritma adalah bentuk baru “panoptikon” — pengawasan yang membuat manusia patuh tanpa sadar diawasi.
Jean Baudrillard menyebut fenomena ini sebagai hyperreality: dunia simulasi menggantikan realitas. Filter wajah, identitas digital, dan pencitraan sosial membentuk manusia yang hidup dalam tiruan yang lebih meyakinkan daripada kenyataan.
Erich Fromm menegaskan dalam Escape from Freedom bahwa manusia modern melarikan diri dari kebebasan dengan menciptakan kepalsuan diri. Dunia digital memperkuat pelarian itu — menciptakan ilusi kebebasan yang sejatinya adalah ketergantungan.
4. Pemikir Muslim dan Kritik Kemanusiaan
Imam Al-Ghazali menulis dalam Ihya Ulumuddin bahwa penyakit hati bermula dari cinta dunia yang berlebihan. Cinta dunia digital hari ini bukan lagi harta, melainkan citra. Ketika manusia mencintai dirinya yang palsu, ia sesungguhnya sedang menipu jiwanya sendiri.
Ali Shariati menilai bahwa modernitas telah mengganti manusia spiritual dengan manusia teknologis. Menurutnya, kemajuan tanpa kesadaran adalah bentuk perbudakan yang tersenyum — tepat menggambarkan masyarakat algoritmik saat ini.
Malik Bennabi menegaskan bahwa kemunduran umat bukan karena kelemahan fisik, tapi karena “kemandulan ide.” Dunia digital menjadikan manusia pasif, konsumtif, dan kehilangan imajinasi kritis — kondisi yang ia sebut sebagai “post-civilizational inertia.”
Penutup Reflektif
Pembodohan massal modern tidak lagi berbentuk propaganda kasar, melainkan melalui kenyamanan yang menghipnotis. Dunia digital menciptakan manusia yang tampak cerdas, namun tidak mampu berpikir mandiri. Ia tersesat bukan karena kegelapan, tetapi karena cahaya yang terlalu terang. Ia berbicara tanpa makna, tertawa tanpa alasan, dan hidup dalam bayangan dirinya sendiri.
Teknologi seharusnya memperluas kesadaran, bukan mempersempitnya. Namun selama algoritma menjadi tuhan baru dan perhatian menjadi ibadahnya, manusia akan terus kehilangan arah. Kesadaran kritis hanya lahir dari keberanian untuk berhenti — untuk melihat dunia bukan dari layar, tapi dari hati.
Maka, tugas kita bukan menolak kemajuan, melainkan mengembalikannya ke fitrah. Agar manusia tak lagi bekerja untuk algoritma, melainkan menjadikan algoritma bekerja bagi kemanusiaan. Sebab kemajuan tanpa kesadaran hanyalah bentuk lain dari keterbelakangan yang terbungkus indah.
Referensi
- Ibn ‘Ashur, Muhammad Tahir. At-Tahrir wa At-Tanwir. Tunis: Dar Sahnun, 1984.
- Al-Ghazali, Abu Hamid. Ihya Ulumuddin. Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah.
- Foucault, Michel. Discipline and Punish: The Birth of the Prison. New York: Vintage Books, 1995.
- Baudrillard, Jean. Simulacra and Simulation. University of Michigan Press, 1994.
- Fromm, Erich. Escape from Freedom. New York: Holt Paperbacks, 1994.
- Shariati, Ali. Man and Islam. Tehran: Shariati Foundation, 1971.
- Bennabi, Malik. The Qur’anic Phenomenon. Islamic Research and Studies, 1998.
- Hadis-hadis diambil dari Musnad Ahmad, Shahih Bukhari, dan Shahih Muslim.