Roasting sebagai Kritik Sosial: Analisis Etika dan Diskursus Publik dalam Perspektif Islam Modern Pendahuluan Fenomena roasting — y...
Roasting sebagai Kritik Sosial: Analisis Etika dan Diskursus Publik dalam Perspektif Islam Modern
Pendahuluan
Fenomena roasting — yakni penyampaian kritik melalui ejekan, sindiran, atau humor pedas — kian menonjol dalam budaya media massa dan platform digital. Di satu sisi, roasting dapat berfungsi sebagai mekanisme pengawasan sosial yang mengekspos kemungkaran dan praktik korporasi atau institusi; di sisi lain, ia berpotensi menyinggung, merendahkan martabat, atau memicu fitnah. Kajian ini menguji apakah dan bagaimana praktik roasting dapat ditempatkan dalam bingkai hukum Islam melalui ijtihad kontemporer, dengan rujukan ushul fiqh dan tafsir Ibn ‘Āshūr, serta aplikasi tatbiq sosial yang relevan pada kasus-kasus media modern.
Landasan Al-Qur’an dan Hadis
﴿يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا يَسْخَرْ قَوْمٌ مِّن قَوْمٍ...﴾
“Wahai orang-orang yang beriman! Janganlah suatu kaum mengolok-olok kaum yang lain...” (QS. Al-Hujurāt [49]: 11)
تفسير ابن عاشور (إجمالاً)
ابن عاشور يَؤكِّدُ أنْ النَّهيَ هَنا لا يَقتصِرُ على السَّبِّ اللفظيِّ فَحَسبُ، بَلْ يَشْمَلُ كُلَّ صُوَرِ الاِسْتِهْزاءِ الَّتِي تُؤدِّي إلى الإِهانَةِ وَإِثارةِ الفتْنَةِ بَيْنَ النَّاسِ.
Interpretasi modern: ayat ini memberi batas normatif bagi praktik publik—termasuk roasting—yakni: kritik yang bersifat mempermalukan, memicu kebencian antarkelompok, atau menyebarkan dusta bertentangan dengan tujuan syariat. Kritik publik harus menjaga martabat manusia dan menjaga ketertiban sosial.
حَدِيث
«لاَ ضَرَرَ وَلاَ ضِرَارَ»
“Tidak boleh (dilakukan) menimbulkan mudharat dan tidak boleh saling merugikan.” (hadis madzhab, dipakai luas dalam ushul fiqh)
Relevansi: prinsip larangan membahayakan menjadi tolok ukur etis bagi penyaji kritik; bila roasting melahirkan mudharat signifikan (fitnah, kekerasan, pengucilan sosial), maka ia harus dikendalikan atau dilarang.
Analisa Ushul Fiqh — Kaidah, Ibn ‘Āshūr (inti dalam bahasa Arab), dan Interpretasi Modern
1. Kaidah: درء المفاسد مقدم على جلب المصالح
نَصُّ النّصّ: درءُ المَفاسِدِ مُقَدَّمٌ عَلَى جَلْبِ المَصالِحِ
مضمون ابن عاشور (باختصار بالعربية): يَرَى ابن عاشور أنَّ الشَّريعةَ تَسعى لِدَفعِ المَفاسِدِ أَوَّلًا؛ فلا يُقْبَلُ قَبُولُ وسائِلٍ تُؤدِّي إلى فَسادٍ عامٍ إنْ زادَتْ مَضَـرَّتُها عَلى مَنَافِعِها.
Interpretasi modern: bila roasting menghasilkan manfaat (seperti ekspos korupsi) namun secara pasti menimbulkan kerusakan sosial lebih besar (kebencian, kekerasan, fitnah), maka menolak atau mengkondisikan roasting menjadi keharusan. Oleh karena itu tata etika media diperlukan untuk menilai proporsi manfaat/mafsadah sebelum menyebarluaskannya.
2. Kaidah: المصلحة المرسلة (المصلحة) / مَصلَحَةُ مَرْسُولَة
النّصُّ: المَصالِحُ المَرْسولَةُ تُؤَخَذُ بِحَسَبِها مَتى لَمْ تُخْرِق نُصوصًا ظاهِرَةً
مضمون ابن عاشور (باختصار بالعربية): يَفْتَح ابن عاشور مَجالَ المَصالحِ المَرْسولَةِ لِلْقَضايا العَصْرِيَّةِ مَعَ شَرْطِ أَنْ لا تَخْرِقَ أَصُولَهَا.
Interpretasi modern: roasting bisa menjadi alat maslahat (pembongkaran kebobrokan) sepanjang ia tidak melanggar nash tegas (mis. menebarkan fitnah). Ijtihad praktis dapat mengembangkan protokol jurnalistik yang memungkinkan sindiran kritis tetapi menjaga verifikasi fakta.
3. Kaidah: المصالح تُقدّم على المفاسد في حدودها
مضمون ابن عاشور (باختصار بالعربية): المصالحُ تَؤخذُ ما دامَتْ في حُدودِ الشريعةِ ولا تُولِّدُ مفاسدَ جِسامًا.
Interpretasi modern: media harus menimbang tujuan publik (kebersihan institusi, transparansi) terhadap risiko dampak psikososial. Roasting yang terukur dan berbasis fakta dapat dimaklumi sebagai upaya pencegahan kerusakan sistemik.
4. Kaidah: لا ضرر ولا ضرار
مضمون ابن عاشور (باختصار بالعربية): لا ضَرَرَ أَساسٌ أخلاقيٌ وَفقهيٌّ؛ يُرَاعَى في كل فعلٍ يُنشِئُ مَضَرَّةً لِلنّاسِ.
Interpretasi modern: hadits ini menegaskan nilai pencegahan mudharat. Jika roasting mengakibatkan kerugian nyata (mis. serangan siber, ancaman, penurunan reputasi tanpa pembuktian), maka harus dihentikan oleh mekanisme redaksi dan hukum yang relevan.
Analisis Kritis Kasus: Roasting dalam Liputan Media (studi kasus teraktual)
Sebagai ilustrasi, anggap sebuah kasus di mana federasi sepakbola sebuah negara mendapat sanksi internasional terkait prosedur naturalisasi pemain—isu ini memicu pemberitaan luas. Seorang pembawa berita televisi menanggapi dengan roasting: komentar pedas, sindiran kultural, dan lelucon yang mengejek figur-figur terkait. Analisis berikut melihat dimensi etis dan hukum dari tindakan pembawa berita tersebut.
Dimensi pertama: fakta dan verifikasi. Jika pernyataan roasting berdasarkan fakta valid—misalnya ada putusan resmi yang menuduh pelanggaran—maka sindiran dapat dibaca sebagai bentuk kritik publik. Namun, prinsip dar’ al-mafasid menuntut redaksi menjaga verifikasi agar tidak menebar fitnah.
Dimensi kedua: martabat individu/kelompok. Ayat Al-Hujurat melarang ejekan yang merendahkan; oleh karenanya, roasting yang bersifat personal dan merendahkan kehormatan melampaui batas etis. Di sinilah tata nilai jurnalistik berbasis maqāṣid diperlukan: kritik boleh, penghinaan tidak.
Dimensi ketiga: dampak sosial. Roasting yang viral dapat memicu polarisasi, boikot, atau ancaman terhadap terduga pelaku. Kaidah “لا ضرر ولا ضرار” mengarahkan perlunya mekanisme mitigasi—mis. hak jawab, klarifikasi redaksi, dan kode etik penyiaran yang mengatur bentuk humor kritis.
Studi Kasus Media dan Roasting: Fenomena FAM Malaysia & Metro TV Indonesia
Pada pertengahan tahun 2025, Federasi Sepakbola Malaysia (FAM) disorot publik setelah sanksi FIFA terkait dugaan manipulasi tujuh pemain naturalisasi. Berita ini menjadi bahan pemberitaan luas, dan salah satu pembawa acara di stasiun televisi nasional Indonesia, Metro TV, menyampaikan sindiran satir yang menyentil moralitas pengelolaan sepak bola kawasan. Ucapan tersebut menimbulkan beragam tanggapan, sebagian menilai sebagai humor edukatif, sementara sebagian lain menudingnya sebagai bentuk penghinaan terhadap negara tetangga.
Dari sudut pandang ushul fiqh, peristiwa ini menggambarkan ketegangan antara maslahah (fungsi pengawasan sosial) dan mafsadah (potensi perpecahan regional). Bila niat penyiar adalah memperbaiki praktik olah raga agar lebih jujur dan profesional, maka tindakan itu memiliki nilai maslahat. Namun bila dilakukan dengan nada menghina bangsa lain, maka bertentangan dengan semangat QS. Al-Hujurāt [49]: 11 dan kaidah la darar wa la dirar.
Dalam tafsir Ibn ‘Āshūr terhadap ayat tersebut, ditegaskan bahwa ejekan antarkaum dapat menghancurkan keutuhan sosial dan menumbuhkan kesombongan kolektif. Tafsir ini sangat kontekstual untuk era media global; sindiran publik lintas negara dapat berujung pada disharmoni diplomatik. Oleh karena itu, dalam kerangka tatbiq sosial, media modern mesti mengedepankan prinsip roasting edukatif — kritik yang membenahi, bukan mempermalukan. Dalam paradigma maqāṣid, itu berarti menjaga ‘ird (kehormatan), ‘aql (akal sehat publik), dan ummah (kesatuan sosial) secara bersamaan.
Tatbiq Sosial: Rekomendasi Kebijakan dan Praktik
1. Protokol Verifikasi Redaksi: setiap bentuk sindiran yang mengangkat isu publik wajib didahului verifikasi fakta dan sumber. Ini melindungi dari fitnah dan sesuai kaidah المصلحة المرسلة.
2. Kode Etik Humor Kritis: lembaga penyiaran merumuskan pedoman khusus untuk humor dan roasting—mis. larangan penghinaan berbasis identitas, kewajiban konteks, dan hak jawab tercatat.
3. Mekanisme Hak Jawab dan Koreksi Publik: media wajib menyediakan ruang hak jawab yang mudah diakses oleh pihak yang disindir; ini menegakkan prinsip keadilan dan mencegah eskalasi mudharat.
4. Pendidikaan Literasi Media Publik: program pendidikan untuk masyarakat agar mampu membaca humor kritik tanpa langsung mempolitisasi atau melakukan tindakan kekerasan—ini bagian dari upaya mencegah kerusakan sosial (dar’ al-mafasid).
5. Regulasi Proporsional: otoritas penyiaran perlu regulasi proporsional yang tidak mengekang kebebasan berekspresi namun memberi sanksi pada penyebaran fitnah, ujaran kebencian, atau ancaman; pendekatan ini sejalan dengan maqāṣid dalam menyeimbangkan maslahat dan mafsadah.
Kesimpulan
Roasting dapat berperan sebagai alat kritik sosial bila: (a) didasarkan pada fakta yang terverifikasi, (b) menjaga martabat manusia dan tidak menargetkan identitas yang dilindungi, (c) disertai mekanisme hak jawab dan koreksi, serta (d) dikelola oleh kode etik profesional. Dari perspektif ushul fiqh dan tafsir Ibn ‘Āshūr, tindakan publik yang berniat mengungkap kemungkaran harus menimbang maslahat versus mafsadah; bila mudharat nyata lebih besar, tindakan itu perlu dikendalikan. Ijtihad modern menuntut tata nilai baru bagi media: mengakomodasi kritik berdampak positif tanpa jatuh ke dalam kebencian dan perendahan martabat—itulah tatbiq etika Islam yang relevan di era simulakra komunikasi massa.
Daftar Referensi
1. Al-Qur’an al-Karim, QS. Al-Hujurāt [49]: 11; QS. Al-Hujurāt [49]: 12; QS. Al-A‘rāf [7]: 56.
2. Ibn ‘Āshūr, Muḥammad Ṭāhir, At-Taḥrīr wa at-Tanwīr.
3. Al-Ghazālī, Iḥyā’ ‘Ulūm ad-Dīn.
4. Kamali, Mohammad Hashim, Principles of Islamic Jurisprudence.
5. Metro TV Indonesia, Liputan Roasting FAM Malaysia, Juni 2025 (observasi media).
6. FIFA Official Statement, Sanksi Federasi Sepakbola Malaysia (FAM), 2025.
7. Relevant journalism ethics codes and broadcasting guidelines (konseptual).