Taqdir, Bencana, dan Profesionalitas: Membaca Ulang Perspektif Islam Pendahuluan Konsep takdir selalu menjadi perdebatan panjang dala...
Taqdir, Bencana, dan Profesionalitas: Membaca Ulang Perspektif Islam
Pendahuluan
Konsep takdir selalu menjadi perdebatan panjang dalam khazanah Islam. Ketika terjadi bencana, misalnya runtuhnya bangunan akibat kesalahan teknis, muncul dua respons: ada yang menyebutnya murni takdir Allah, ada pula yang menilai itu hasil kelalaian manusia. Pertanyaan pun muncul: apakah keduanya bisa dipertemukan?
Tulisan ini mencoba menjawab melalui telaah ulama klasik, ulama modern, dan tafsir Ibn ‘Āsyūr dalam at-Taḥrīr wa at-Tanwīr, dengan pendekatan akademik namun tetap populis.
Pandangan Ulama Klasik
1. Imam al-Ghazali dalam Ihya’ Ulumuddin menjelaskan bahwa takdir bukan alasan untuk berlepas diri dari tanggung jawab. Bencana tetap bagian dari kehendak Allah, namun manusia diberi ikhtiar untuk mencegahnya. Jika terjadi kelalaian, itu bagian dari sebab yang dipilih manusia.
2. Ibnu Taimiyah dalam Majmu’ al-Fatawa menegaskan pentingnya membedakan antara qadha (ketetapan Allah) dan ikhtiar manusia. Menurutnya, keruntuhan bangunan karena salah konstruksi termasuk akibat perbuatan manusia, walaupun tetap berada dalam pengetahuan Allah.
Pandangan Ulama Modern
1. Muhammad Abduh menolak sikap fatalistik. Baginya, umat Islam wajib menggunakan akal dan ilmu untuk memperbaiki kehidupan. Menyalahkan takdir dalam hal yang bisa dicegah adalah bentuk kemalasan berpikir.
2. Yusuf al-Qaradawi mengingatkan bahwa iman kepada takdir bukan berarti menyerah pada kelalaian. Dalam Fiqh al-Qadar wa al-Taklif, beliau menekankan keseimbangan: menerima musibah dengan sabar, namun tetap menuntut tanggung jawab manusia dalam aspek teknis.
Dalil Al-Qur’an dan Hadis
Al-Qur’an:
وَمَا أَصَابَكُم مِّن مُّصِيبَةٍ فَبِمَا كَسَبَتْ أَيْدِيكُمْ وَيَعْفُو عَن كَثِيرٍ
“Dan apa saja musibah yang menimpa kamu maka adalah disebabkan oleh perbuatan tanganmu sendiri. Dan Allah memaafkan sebagian besar (dari kesalahan-kesalahanmu).” (QS. Asy-Syūrā [42]: 30)
Hadis Nabi SAW:
«اعْقِلْهَا وَتَوَكَّلْ»
“Ikatlah (untamu), kemudian bertawakkallah.” (HR. Tirmidzi)
Sub-Analisis Ayat dan Perbandingan Tafsir
1. Tafsir Klasik (al-Ṭabarī): QS. Asy-Syūrā [42]: 30 ditafsirkan sebagai teguran akibat dosa-dosa manusia. Musibah dipahami sebagai peringatan spiritual agar manusia bertaubat.
2. Tafsir Ibn Kathir: Musibah adalah qadarullah, tetapi tetap berkaitan dengan amal manusia. Ia menekankan kesabaran dan doa sebagai respons utama menghadapi bencana.
3. Tafsir Modern Ibn ‘Āsyūr: Dalam at-Taḥrīr wa at-Tanwīr, Ibn ‘Āsyūr membaca ayat ini secara kontekstual. Baginya, bimā kasabat aydīkum tidak hanya berarti dosa spiritual, tetapi juga kelalaian sosial dan teknis. Jika bangunan roboh karena salah perhitungan, itu adalah “perbuatan tangan manusia.” Tafsir ini menekankan hukum sebab-akibat (sunnatullah) dan menolak fatalisme.
Integrasi Tafsir dengan Realitas
Jika sebuah asrama pesantren runtuh karena kualitas bangunan yang buruk, dua hal harus ditegaskan:
- Dari sisi iman: itu tetap takdir Allah, yang harus diterima dengan sabar.
- Dari sisi sosial: itu adalah kelalaian manusia yang harus diperbaiki melalui regulasi, profesionalitas, dan tanggung jawab moral.
Iman kepada takdir justru menuntut kehati-hatian dan kedisiplinan, bukan pasrah pada kelalaian.
Penutup
Peristiwa bencana seperti runtuhnya bangunan pesantren adalah cermin dinamika antara qadarullah dan ikhtiar manusia. Ulama klasik mengajarkan kesabaran dan penerimaan, ulama modern menekankan akal dan tanggung jawab sosial, sedangkan Ibn ‘Āsyūr menawarkan tafsir kontekstual yang menolak fatalisme.
Dengan demikian, sebagai muslim, diajak untuk tidak berhenti pada narasi “takdir”, melainkan juga bergerak menuju perbaikan sistemik. Takdir bukan alasan untuk lalai, melainkan motivasi untuk memperkuat iman sekaligus meningkatkan profesionalitas.
Referensi
1. Al-Ghazali, Ihya’ Ulumuddin
2. Ibnu Taimiyah, Majmu’ al-Fatawa
3. Al-Ṭabarī, Jāmi’ al-Bayān
4. Ibn Kathir, Tafsīr al-Qur’ān al-‘Aẓīm
5. Ibn ‘Āsyūr, at-Taḥrīr wa at-Tanwīr
6. Muhammad Abduh, Risalah al-Tauhid
7. Yusuf al-Qaradawi, Fiqh al-Qadar wa al-Taklif
8. Al-Qur’an al-Karim
9. Hadis Nabi Muhammad SAW
