Nalar Tawassuth secara terminologi bisa dimaknai sebagai metode penalaran hukum islam berbasis logika keadilan universal. Ini bukan ...
Nalar Tawassuth secara terminologi bisa dimaknai sebagai metode penalaran hukum islam berbasis
logika keadilan universal. Ini bukan berarti kita harus mengesampingkan sumber primer Hukum Islam seperti Al-Quran, Hadist, Ijma' dan Qiyas. Tetapi hal ini dimaksudkan agar kita bisa berlaku adil dalam menyikapi setiap persoalan-persoalan kekinian yang secara literalis tidak ada di dalam
kitab suci. Dalam diskursus kesarjanaan Islam sering kali dikatakan; Jumlah ayat-ayat kitab suci sangat terbatas tapi disisi lain permasalahan-permasalahan manusia selalu ada tanpa batas. Karena itu, Penalaran hukum berbasis logika tawassuth ini bisa menjadi jalan tengah yang mampu memproduksi fatwa hukum dari setiap permasalahan-permasalahan kontemporer disekitar kita.
Pada tulisan kali ini Saya akan memberikan 2 contoh permasalahan zaman now yang sering kali
menghabiskan energi kita dalam berdebat. Apalagi perdebatan itu terjadi karena masing-masing kita
memiliki cara pandang yang berbeda terhadap isu-isu aktual di masyarakat.
Pertama: Fenomena Donald Trum yang menantang dunia
Ini merupakan permasalahan yang sudah membuat beberapa Negara Islam "naik pitam". Donald Trum secara sepihak mengakui Yerusalem sebagai Ibu kota Israel. Kita tahu banyak Negara-Negara Islam yang secara tegas menentang klaim sepihak tersebut. Negara-Negara ini mengupayakan agar Donald Trump sebagai Presiden Amerika mencabut pernyataannya. Tapi bukannya mengikuti kemauan para pemimpin Islam, Donald trump malah semakin teguh terhadap pernyataannya itu.
Lantas, sebagai seorang muslim, bagaimana cara kita menyikapi persoalan ini? Apakah kita melihat
permasalahan Israel-Palestina sebagai konflik antar agama (baca:Yahudi-Islam) atau malah ini
merupakan konflik kepentingan politik yang menyangkut kelompok-kelompok yang masih berseteru
antara satu dengan yang lainnya?
Baiklah, semua orang pasti menghendaki perdamaian di dunia ini. Bahkan di Negara yang mengalami
konflik berkepanjangan saja, saya yakin, ingin mengakhiri segala penderitaan dan kenestapaan
yang mereka alami selama ini. Kita yang hidup di Indonesia, jangan pernah membangkitkan konflik
Negara lain di Negara yang kita cintai ini. Salah satu contohnya adalah sikap sebagian kelompok
yang melakukan upaya generalisasi terhadap Bangsa Yahudi dengan mengatakan,
"Orang-orang Yahudi telah memerangi saudara seiman kita.
Kita harus berjihad membela saudara kita".
Apakah benar setiap individu dari bangsa Yahudi harus bertanggung jawab atas kenestapaan
yang dialami saudara kita di palestina? Tidak. Konflik yang ada di Palestina tidak mutlak
sebagai konflik antar agama, melainkan adalah konflik yang sarat dengan muatan politis
yang kuat; mencakup berbagai kelompok yang secara kontinu masih berperang atasnama agama,
ras dan kepentingan tertentu.
Mungkin banyak orang yang tidak tahu bahwa di Israel ada 1.3 juta warga muslim yang secara
sah menjadi warga Negara Israel. Bahkan di beberapa media mainstream dikabarkan, banyak
orang-orang palestina yang berusaha memiliki kewarganegaraan Israel. Hal ini membuktikan
bahwa sikap politik para pemimpin Israel sebenarnya tidak mewakili pandangan individu-
individu bangsa Yahudi itu sendiri. Artinya, kezaliman dan penjajahan yang dilakukan rezim zionis tidak hanya dikecam oleh orang-orang Islam, tapi juga dikecam oleh sekelompok orang-orang Yahudi yang banyak tersebar di belahan dunia saat ini.
Saya berada para posisi dimana Perdamaian harus menjadi solusi antara kedua Negara:Israel dan Palestina. jadi, serumit apapun permasalahan yang terjadi diantara dua Negara ini harus bisa diselesaikan dengan cara yang baik dan konstruktif. Mungkin banyak orang muslim yang masih sinis terhadap bangsa Israel. Bahkan mereka menganggap Negara Israel itu tidak perlu ada.
Tentu orang-orang ini memiliki alasannya sendiri. Tapi menurut Saya, sudah saatnya kita kembali
kepada nalar tawassuth; sebuah logika penyelesaian masalah yang lebih mengedepankan langkah solutif demi terwujudnya perdamaian. Sebagai muslim kita harus bisa menerima kehadiran Negara Israel. Karena hanya dengan sikap seperti itu kita bisa meminimalisir kesadaran akan pentingnya sebuah pengakuan. Banyak orang Yahudi yang bersikap seperti ini, mengakui Negara Palestina dan menentang rezim zionis yang kerap tidak berlaku adil.
Demikian pula, kita tahu ada jutaan warga Negara Israel yang hidup sebagai seorang muslim.
Jadi, mari kita mulai bersikap adil terhadap bangsa Yahudi. Jangan pernah kita memandang mereka
sebagai bangsa yang hidup untuk membuat kerusakan di muka bumi ini. Manusia pada dasarnya
memiliki "fitrah" jati diri: cinta kebaikan. Karena itu, di belahan bumi manapun kita dilahirkan,
sikap cinta kebaikan sudah tertanam dalam diri kita. Lantas, mengapa ada sekelompok orang yang
bersikap bengis, kasar dan jahat terhadap sesama? itu karena mereka belum sepenuhnya menjadi
manusia, terkadang kebencian dan dendam yang berlarut-larut bisa menghilangkan sikap kemanusiaan dalam diri kita sekaligus dapat membutakan mata hati kita.
Mari kita ambil contoh, sikap kalangan radikal-jihadis adalah bukti bagaimana kebencian bisa
membuat orang hidup dalam penderitaan. Aksi-aksi mereka selama ini tentu sudah cukup membuka mata kita dan membuat kita harus lebih berhati-hati dalam menentukan sikap terhadap orang-orang yang berbeda secara keyakinan dan pandangan politik. Kita harus mulai terbiasa hidup dalam kultur
perbedaan apapun.
Di zaman now, banyak penceramah yang latah mengucapkan "kopar-kapir" terhadap orang yang berbeda. Bahkan terhadap saudara seiman pun mereka sering sekali memvonis sesat, sekuler, liberal dan kafir. Tentu sikap semacam ini sangat disayangkan. Merendahkan orang lain, mungkin bagi sebagian orang sungguh menyenangkan, apalagi memvonis sesat orang-orang yang mempunyai
nalar berpikir yang berbeda. Menurut Saya, setajam apapun perdebatan yang terjadi, kita wajib
untuk tidak melupakan pesan kenabian Nabi Muhammad saw: Akhlakul karimah. Hanya dengan mencontoh akhlak Nabi saw yang santun; kita akan menjadi manusia yang memiliki kelembutan hati dan kemuliaan di sisi Allah swt.
Sebuah film karya Hanung Bramantyo Ayat-Ayat Cinta 2 patut kita apresiasi. Pesan perdamaian
dalam Film ini begitu kental. Salah satunya tentang bagaimana cara kita bersikap terhadap
orang-orang yang memiliki keyakinan yang berbeda terhadap kita. Yang menarik adalah upaya
Hanung meletakkan dasar-dasar prinsip toleransi dalam Film Cinta ini. Dimana pada salah satu adegan terdapat konflik antar keyakinan dalam spektrum sosial; dan akhirnya konflik-konflik ini
mampu diselesaikan dengan baik. Begitu pula, ajakan untuk tidak memusuhi agama dan ras tertentu.
Misalnya Yahudi karena konflik Israel-Palestina adalah langkah progresif yang cukup mengaktifkan
Nalar Tawassuth kita. Bisa dikatakan, film ini sangat kontekstual dan saya pikir bisa dijadikan
rujukan tentang bagaimana kita membangun intraksi sosial antar agama di era modern ini.
Kedua: Pro Kontra keabsahan Mengucapkan Selamat Natal dan Selamat Hari Ibu
Hari ini merupakan hari bahagia bagi saudara kita yang beragama Kristen. Marry Chrismas yang dimaknai "Id Al-Milad" mempunyai arti penting bagi yang merayakannya. Banyak stasiun Televisi baik swasta maupun Nasional meliput Perayaan Natal yang begitu meriah. Tetapi sangat disayangkan, menjelang Natal ini dunia media sosial dimarakkan dengan pro kontra keabsahan seorang muslim mengucapkan atau merayakan Id Al-Milad. Berbagai pendapat pun diutarakan; baik itu yang berupa fatwa atau hanya sekedar pendapat dan opini pribadi. Kebanyakan orang-orang yang menganggap Haram bagi orang Islam untuk mengucapkan selamat natal, adalah karena mereka mengkait-kaitkan persoalan Muamalah dengan akidah, begitu pula persoalan budaya dan ajaran pokok agama Islam.
Ustad Felix Siaw adalah salah satu ustad yang menilai mengucapkan selamat natal tidak ada dalilnya.
Sebagaimana ia mengatakan bahwa nasionalisme itu tidak ada dalilnya. Ustad Felix Siaw pernah menulis panjang lebar tentang bagaimana umat Islam dihari Natal sering kali dianggap tidak toleran; hanya karena menolak mengucapkan selamat natal dan ikut merayakannya. Menurut Saya kita tidak perlu berkecil hati dengan anggapan orang lain terhadap kita. Islam mengajarkan kita untuk membangun relasi yang baik terhadap orang-orang yang berbeda. Bukan malah membangun tembok
dan membuat batas dengan menjadikan ajaran Islam yang kita anut menjadi eksklusif dan anti perbedaan.
Ketua Umum Majlis Ulama Indonesia sendiri mengatakan, orang Islam boleh mengucapkan selamat natal tapi tidak boleh untuk memakai atrbut-atribut Natal. Karena pemakaian antribut-atribut natal bagi sebagian orang Islam dianggap telah "mencoreng" akidah Islam yang mereka anut.
Benarkah anggapan seperti itu? Entahlah. Atribut-atribut Natal adalah simbol tidak mewakili substansi. Sebagaimana kopiah dan sorban yang dipakai untuk solat juga hanya simbol saja, tidak ada kaitannya dengan keimanan dan akidah seseorang. Orang Islam tetap akan sah salatnya walaupun tidak mengenakan Kopiah dan sorban. Apalagi hanya mengucapkan selamat natal kepada teman-teman non-muslim, tentu adalah perkara yang biasa saja. Justru bisa membuat hubungan personal kita semakin baik.
Takutkah kita kalau nanti aqidah kita tergadaikan hanya karena mengucapkan selamat natal dan
memakai aksesorisnya? Sangat lucu. Jika keimanan seseorang diukur dari simbol-simbol profan
dan bersifat keduniawian. Keimanan adalah soal sejauh mana kita bisa mengenal tuhan secara mendalam. Beriman juga tidak butuh alasan karena mencari-cari alasan dalam beriman hanya
menguragi kualitas iman itu sendiri.
Begitu pula, keimanan juga tidak bisa dibuktikan oleh sesuatu yang bersifat materi. Belum tentu orang yang "ayem" nyaman dengan segala aksesoris keagamaannya menjadi orang yang paling beriman. Bisa jadi karena aksesoris keagamaan yang berlebih-lebihan itu membuat mereka "buta" dan silau terhadap diri sendiri: sombong. Sangat jelas disebutkan dalam sebuah narasi hadis Nabi Muhammad saw,
"Tidak masuk Surga bagi siapa saja yang terdapat di dalam hatinya secuil sifat sombong".
Narasi ini bisa kita pahami sebagai kontrol diri agar tidak berlaku "suka-suka" dan sewenang-wenang terhadap orang yang mempunyai pandangan yang berbeda dari kita.
Misalnya, Dahulu, pernah ada aksi sweping ormas terhadap orang-orang yang memakai atribut Natal.
Adapun aksi ini dilakukan di Mall-Mall besar Jakarta. Kejadian ini sempat diabadikan melalui
rekaman video. Pro kontra pun terjadi. Masing-masing kelompok percaya pendapatnya adalah yang paling benar. Menurut saya, kita boleh berbeda pendapat, tapi untuk menganggap pendapat kita yang paling benar sementara pendapat orang lain salah, sesat dan menyesatkan sangat tidak mencerminkan akhlak seorang Muslim. Umat muslim harus lebih berpikir terbuka, kritis dan cinta Ilmu pengetahuan. Karena hanya dengan bersikap seperti itu, kita akan menjadi masyarakat yang maju dan berperadaban.
Berkenaan dengan mengucapkan selamat hari Ibu. Ustad Abdul Somad terang terangan mengatakan dalam sesi ceramah beliau bahwa perayaan hari Ibu adalah bentuk dari "tasabuh" menyerupai orang-orang kapir. Ustad yang tidak cukup lama dipersekusi oleh sebagian ormas kecil di Bali dan baru-baru ini juga di deportasi oleh otoritas Bandara di China menukil satu hadis populer,
" Man Tassabaha bi Qaumin Fahuwa Min Hum". Artinya, Barang siapa yang menyerupai
suatu kaum maka ia adalah bagian dari mereka".
Tepatkah berdalil dengan hadis ini untuk memproduksi fatwa haram terhadap perayaan hari Ibu? Tidak. Hadis ini harus dipahami secara komprehensif sesuai dengan konteks spesifik yang terjadi di masa itu. Menurut Saya, "Tassabuh" yang bermakna menyerupai kelompok tertentu tidak mutlak di larang dalam Islam.
Artinya, proses menyerupai kelompok lain secara positif malah sangat dianjurkan. Apalagi menyangkut hal-hal yang berkaitan dengan sains dan teknologi. Seperti di era modern, berbagai macam inovasi teknologi Abad 21 diinisiasi oleh orang-orang yang berbeda secara keyakinan dengan kita: Mark Zuckerberg dan Elon Musk contohnya.
Apakah haram bagi kita menyerupai inovasi-inovasi yang mereka lakukan? lalu, Samartphone yang ada bersama kita saat ini juga banyak diproduksi orang-orang non-muslim yang sering kali dikopar-karpirkan dan diperlakukan secara tidak adil dalam ceramah-ceramah mereka. Menurut Saya istilah "kafir" adalah istilah Internal dalam islam. Ia bukan istilah yang harus selalu digaung-gaungkan di ranah publik dan berpotensi menjadi viral. Di era digital saat ini, mari kita jauhi eksklusivitas dalam berdakwah. Misalnya, kita menganggap ceramah-ceramah agama yang selama ini kita lakukan hanyalah untuk kalangan sendiri.
Tapi yang menjadi persoalan adalah; ketika ceramah agama yang bertendensi merendahkan umat lain
diedit lalu dengan sengaja diviralkan oleh orang-orang tertentu untuk menghancurkan kredibilitas
sang penceramah.
Jadi, seorang pendakwah/penceramah harus lebih cerdas dalam bertutur kata dan bersikap. Jangan pernah menganggap diri paling benar dengan memvonis orang lain yang berbeda secara pemikiran dengan kata-kata yang tidak pantas: Liberal, sekuler, munafik dan sesat. Ini adalah kata-kata yang sering sekali diutaarakan oleh orang-orang yang merasa paling Islami. Orang-orang seperti ini mempunyai visi bahwa umat Islam harus bersatu sementara ceramah agamanya dipenuhi dengan kecurigaan dan kecaman terhadap saudara seagama mereka.
Mari kita hindari perilaku seperti ini. Terkadang kita menganggap kelompok lain adalah sumber masalah, tapi sebenarnya kita juga turut andil dalam memproduksi permasalahan itu sendiri. Kita sebagai muslim jangan hidup dalam kotak-kotak sempit kelompok tertentu. Apapun permasalahan yang terjadi, dialog adalah solusi yang harus kita bangun bersama. Mari kita hilangkan hujatan-hujatan atasnama agama.
Misalnya, pada kontestasi Pemilihan Gubernur Jakarta ada sekelompok orang yang enggan menshalatkan Jenazah pendukung Gubernur Non Muslim. Ini tentu sikap bodoh yang harus dihindari. Nabi Muhammad saw tidak pernah mengajarkan akhlak seperti itu. Walaupun dalam kitab suci terdapat narasi yang mengatakan bahwa orang-orang "munafiq" sangat berbahaya dan akan berada di dalam kerak Api Neraka. Itu juga tidak bisa menjadi pembenar untuk berlaku tidak adil terhadap saudara seiman dan seagama.
Mengapa? Karena orang-orang munafik yang ada di zaman Nabi Muhammad itu tidak bisa dianalogikan dengan orang-orang Islam yang hidup di zaman now. Nabi Muhammad saw tentu diberi petunjuk oleh Allah swt terhadap siapa saja orang-orang munafik dan memusuhi Islam yang hidup di zaman Nabi saw. Berbeda dengan zaman sekarang. Nabi Muhammad saw sudah tiada. Kita tidak bisa menuduh saudara seagama kita dengan tuduhan Munafik. Jangan-jangan kita cuma berasumsi saja dengan memvonis munafik terhadap mereka hanya karena orang-orang yang tertuduh itu memiliki pandangan yang berbeda dari yang kita pahami dan amalkan selama ini atau malah ilmu kita belum
sanggup menghimpun segala cakrawala ilmu yang sudah mereka ketahui.
Sebagai penutup. Saya ingin mengajak kita semua untuk membumikan Nalar Tawassuth dalam kehidupan beragama di Negara kita Indonesia. Kita melihat bagaimana ghirah/semangat keislaman zaman sekarang begitu besar. Jika diibaratkan gelombang, semangat keislaman masyarakat kita sudah mecapai level yang tinggi dan maksimal. Tetapi di satu sisi umat Islam di Indonesia belum sepenuhnya mampu membaca realitas zaman yang terjadi saat ini. Hal ini dapat dibuktikan dengan lebih mudahnya kita mengajak generasi muda untuk berkumpul ria; melakukan sejumlah aksi berjilid-jilid daripada harus berbondong-bondong pergi keperpustakaan demi memperdalam wawasan dan keilmuan. Akibatnya, mereka bisa semangat dalam menjalankan ritual ibadah tapi disatu waktu
juga begitu beringas di dunia media sosial.
Realitas ini tentunya sangat kita sayangkan. Mari kita bentuk generasi zaman now menjadi pribadi-pribadi yang berkarakter kuat, berwawasan luas dan memiliki sikap yang konsisten dalam menerapkan nilai toleransi yang merupakan basis dari ajaran Islam itu sendiri. Banyak orang Islam merasa paling benar dengan mengatakan,
"Jangan ajari umat Islam untuk hidup dalam bingkai toleransi di Negeri Indonesia, karena
Islam adalah agama mayoritas bukan minoritas".
Menurut Saya siap seperti ini mencerminkan kepongahan dan ketidakrelaan untuk bisa hidup rukun dalam spektrum masyarakat yang cinta keberagaman.
Mari kita sudahi untuk membangga-banggakan kelompok sendiri dengan menistakan golongan yang lain. Jika perkataan kita terdengar menyakitkan bagi orang lain, hal itu juga berlaku terhadap golongan kita.
Jadi, bisa dikatakan, menjaga kerukunan adalah sebuah keniscayaan yg abadi di Dunia ini. Jika setiap
elemen di masyarakat sanggup menjaga kerukunan dan hidup dalam bingkai keberagaman, tentu permusuhan dan sikap tidak terpuji tidak akan kita jumpai lagi. Dunia ini juga semakin damai dan manusia akan berfokus memberi kemaslahatan bagi semua umat manusia; tidak mengenal batas
agama, suku, ras dan dari mana mereka berasal.
Semoga Bermanfaat
Robby Andoyo