Dari Ijab Qabul ke Klik Setuju: Telaah Ushul Fiqh atas Akad Digital Modern Fenomena akad digital semakin meluas seiring dengan kemajua...
Dari Ijab Qabul ke Klik Setuju: Telaah Ushul Fiqh atas Akad Digital Modern
Fenomena akad digital semakin meluas seiring dengan kemajuan teknologi komunikasi. Transaksi daring seperti marketplace, kontrak kerja digital, dan akad finansial berbasis aplikasi menimbulkan pertanyaan mendasar dalam hukum Islam: apakah “klik setuju” dapat dipersamakan dengan ijab qabul tradisional yang menuntut kehadiran dua pihak secara langsung? Pertanyaan ini mengundang perenungan mendalam dalam kerangka ushul fiqh dan maqashid al-syari‘ah agar hukum Islam tetap relevan di tengah perubahan sosial modern.
Realitas sosial baru ini menunjukkan bagaimana bentuk interaksi manusia berevolusi dari tatap muka menjadi digital. Namun, esensi akad sebagai pertemuan kehendak dan kejelasan tujuan tetap menjadi syarat utama. Oleh karena itu, kajian ini menegaskan bahwa hukum Islam tidak kaku terhadap bentuk, melainkan mempertahankan ruh keadilan dan transparansi dalam setiap akad.
Landasan Teoretis
Dalam tradisi fiqh, akad merupakan representasi kehendak yang disepakati antara dua pihak. Imam al-Ghazali dalam al-Mustashfa menyebut bahwa substansi akad bukan terletak pada lafaz, melainkan pada kesepahaman kehendak yang saling mengikat. Ibn ‘Āsyūr menambahkan bahwa syariat selalu mempertimbangkan perubahan sosial melalui prinsip tathawwur al-‘urf (perkembangan adat), selama tidak menyalahi maqasid syariah.
Dalil Al-Qur'an
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَوْفُوا بِالْعُقُودِ
“Wahai orang-orang yang beriman, penuhilah akad-akad itu.” (QS. Al-Mā’idah [5]: 1)
Tafsir: Ibn ‘Āsyūr menjelaskan dalam at-Taḥrīr wa at-Tanwīr bahwa perintah “awfū bil ‘uqūd” menegaskan kewajiban moral dan sosial untuk memelihara kejujuran dalam perjanjian. Dalam konteks modern, makna ini mencakup akad digital yang sah secara etika dan disetujui secara sadar tanpa paksaan.
وَأَشْهِدُوا إِذَا تَبَايَعْتُمْ
“Dan persaksikanlah apabila kamu berjual beli.” (QS. Al-Baqarah [2]: 282)
Tafsir: Quraish Shihab menafsirkan bahwa ayat ini menunjukkan pentingnya dokumentasi dan bukti dalam transaksi. Sistem digital justru memperkuat prinsip ini dengan menghadirkan bukti tertulis dan rekam data yang dapat diverifikasi.
Dalil Hadis
المُسْلِمُونَ عَلَى شُرُوطِهِمْ
“Kaum Muslimin terikat dengan syarat-syarat yang mereka buat.” (HR. Abu Dawud)
Hadis ini menegaskan validitas kesepakatan yang dibuat secara sadar, termasuk dalam ruang digital, selama tidak bertentangan dengan prinsip syariah.
إِنَّمَا الأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ
“Sesungguhnya setiap amal tergantung pada niatnya.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Hadis ini menjadi dasar bahwa keabsahan akad tidak hanya ditentukan oleh bentuk lahiriah, melainkan oleh niat dan kesadaran moral di balik tindakan tersebut.
Analisa Ushul Fiqh
الأُمُورُ بِمَقَاصِدِهَا (Segala sesuatu tergantung pada tujuannya)
Pada akad digital, tujuan untuk bertransaksi dengan ridha dan saling menguntungkan telah terpenuhi. Oleh sebab itu, bentuk “klik setuju” dapat dipahami sebagai manifestasi ijab qabul modern.
اليَقِينُ لاَ يُزَالُ بِالشَّكِّ (Keyakinan tidak dapat dihapus dengan keraguan)
Selama kesepakatan digital disertai bukti autentik dan kejelasan identitas, maka keraguan terhadap keabsahan akad tidak menggugurkan kepercayaannya.
أَلْعَادَةُ مُحَكَّمَةٌ (Adat kebiasaan dapat menjadi pertimbangan hukum)
Dalam dunia modern, kebiasaan masyarakat menggunakan tanda digital sebagai bentuk persetujuan adalah ‘urf al-‘ashri yang sah secara fiqh, selama tidak menimbulkan kezhaliman atau penipuan.
Studi Kasus: Akad Digital dalam Smart Contract Blockchain
Smart contract merupakan sistem perjanjian otomatis di dalam jaringan blockchain yang menjalankan kesepakatan sesuai kode pemrograman tanpa intervensi manusia. Dalam akad digital, sistem ini memastikan transparansi, keadilan, dan akuntabilitas karena semua transaksi tercatat secara permanen dan tidak dapat diubah. Hal ini menjadikan smart contract sebagai bentuk evolusi akad yang sangat sesuai dengan semangat syariah tentang kejujuran dan kepastian hukum.
Dalam perspektif ushul fiqh, smart contract dapat dikategorikan sebagai bentuk baru dari ‘aqd al-mu‘awadhah (akad timbal balik), di mana ijab qabul diekspresikan melalui kode yang memuat kehendak dua pihak. Menurut Ibn ‘Āsyūr, selama unsur ridha, kejelasan objek, dan keabsahan maksud terpenuhi, maka perubahan media atau mekanisme tidak membatalkan akad. Dengan demikian, akad berbasis blockchain memenuhi maqasid syariah dalam menjaga harta (hifz al-mal) dan kejujuran transaksi.
Dari sisi maqasid, teknologi blockchain bahkan memperkuat nilai keadilan dengan mencegah manipulasi data dan penipuan kontraktual. Dalam hal ini, Islam tidak hanya membolehkan, tetapi mendorong inovasi yang memperkuat amanah dan tanggung jawab sosial. Hal ini sejalan dengan prinsip al-maslahah al-mursalah, di mana sesuatu yang membawa manfaat nyata bagi umat dapat dijadikan dasar hukum, meski belum dikenal pada masa klasik.
Penutup Reflektif
Perkembangan teknologi bukanlah ancaman bagi hukum Islam, melainkan peluang bagi ijtihad untuk menunjukkan keluwesan dan daya hidupnya. Islam tidak membekukan bentuk, melainkan menegakkan nilai kejujuran dan keadilan dalam setiap situasi sosial. Akad digital adalah bukti bahwa hukum Islam mampu berdialog dengan zaman tanpa kehilangan ruh ketuhanan.
Dalam dunia yang dikendalikan algoritma, umat Islam perlu kembali pada prinsip maqasid agar setiap inovasi digital tetap membawa maslahat. Karena pada akhirnya, keabsahan sebuah akad tidak hanya diukur oleh kata yang terucap, tetapi oleh kesungguhan niat dan keadilan yang menyertainya.
Daftar Referensi
1. Al-Ghazali, al-Mustashfa
2. Ibn ‘Āsyūr, at-Taḥrīr wa at-Tanwīr
3. Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbah
4. Yusuf al-Qaradawi, Fiqh al-Awlawiyyat
5. Fazlur Rahman, Islam and Modernity
6. Al-Qur’an al-Karim