Kritik atas Komersialisasi Dakwah: Kajian Perbandingan antara Indonesia dan Mesir Abstrak: Fenomena komersialisasi dakwah menjadi pr...
Kritik atas Komersialisasi Dakwah: Kajian Perbandingan antara Indonesia dan Mesir
Abstrak:
Fenomena komersialisasi dakwah menjadi problem etis dan epistemologis dalam wacana keagamaan modern. Di Indonesia, profesi dakwah sering diidentikkan dengan kegiatan profesional yang berhak memperoleh imbalan. Sementara di Mesir, sebagian ulama menolak pandangan tersebut dengan alasan dakwah merupakan kewajiban moral dan religius, bukan profesi yang diperjualbelikan. Artikel ini membandingkan dua paradigma tersebut melalui pendekatan istiqra’ dan analisis tafsir klasik serta kontemporer, terutama dengan menelaah Al-Kasysyaf karya al-Zamakhsyari dan Al-Misbah karya M. Quraish Shihab. Tujuannya ialah memahami sejauh mana etika dakwah dapat dibingkai dalam nilai keikhlasan tanpa menafikan realitas sosial dakwah modern.
Pendahuluan
Praktik dakwah di era modern mengalami transformasi signifikan. Di Indonesia, aktivitas dakwah telah menjadi bagian dari ekosistem ekonomi religius, di mana penceramah diundang dengan sistem honorarium tertentu. Sebaliknya, di Mesir, banyak ulama yang menolak menerima bayaran dalam kegiatan dakwah, berpegang pada prinsip bahwa penyampaian risalah Islam adalah ibadah, bukan jasa profesional. Perbedaan ini menimbulkan perdebatan etik dan teologis: apakah dakwah yang disertai imbalan duniawi mengurangi nilai keikhlasannya di sisi Allah?
Landasan Qur’ani tentang Keikhlasan Dakwah
Al-Qur’an menegaskan bahwa para rasul tidak pernah meminta imbalan dari dakwah mereka.
قُلْ مَا أَسْأَلُكُمْ عَلَيْهِ مِنْ أَجْرٍ إِنْ أَجْرِيَ إِلَّا عَلَى اللَّهِ
“Katakanlah: Aku tidak meminta imbalan sedikit pun kepadamu atas dakwahku; upahku hanyalah dari Allah.” (QS. Saba’ [34]: 47)
Ayat ini menjadi fondasi normatif yang dipahami sebagian ulama sebagai larangan mengambil bayaran atas dakwah. Dalam tafsir Al-Kasysyaf, al-Zamakhsyari menegaskan bahwa ayat tersebut meneguhkan kesucian risalah dari kepentingan duniawi. Dakwah adalah bentuk tabligh yang bertujuan menyampaikan, bukan mencari keuntungan. Namun demikian, tafsir modern seperti Al-Misbah memberi tafsiran yang lebih kontekstual. Quraish Shihab menjelaskan bahwa makna larangan bukan berarti menolak hak kebutuhan hidup pendakwah, melainkan menolak sikap komersialisasi yang merusak niat suci dakwah itu sendiri.
Perbandingan Praktik Dakwah: Indonesia dan Mesir
Di Mesir, dakwah dipandang sebagai panggilan moral dan sosial. Para ulama di lembaga-lembaga seperti al-Azhar sering menyampaikan ceramah tanpa kontrak finansial, meski mereka mendapatkan gaji tetap dari institusi keagamaan negara. Dengan demikian, dakwah tidak menjadi sumber ekonomi langsung, tetapi bagian dari tanggung jawab ilmiah.
Sementara di Indonesia, sebagian besar kegiatan dakwah dikelola oleh lembaga swasta atau komunitas masjid yang tidak memiliki sistem pembiayaan tetap. Hal ini menjadikan pemberian honor kepada penceramah sebagai bentuk penghargaan dan pemenuhan kebutuhan praktis. Namun, seiring waktu, muncul gejala selektivitas di kalangan penceramah yang hanya memilih lokasi dengan imbalan tinggi, sehingga nilai dakwah berubah menjadi transaksi jasa keagamaan. Fenomena ini menimbulkan pertanyaan moral: di manakah letak keseimbangan antara kebutuhan ekonomi dan keikhlasan spiritual?
Analisis Metodologis: Pendekatan Istiqra’ dan Tafsir
Pendekatan istiqra’ (induktif) digunakan untuk menelusuri data empiris praktik dakwah di dua negara tersebut. Dari hasil pengamatan, terlihat bahwa konteks sosial dan struktur kelembagaan keagamaan berperan besar dalam membentuk paradigma etika dakwah. Tafsir klasik seperti Al-Kasysyaf memberikan dasar teologis yang kaku tentang larangan imbalan, sedangkan tafsir kontemporer seperti Al-Misbah membuka ruang ijtihad untuk memahami dakwah sebagai bagian dari profesi modern — selama orientasi spiritualnya tetap dijaga.
Dakwah dan Profesionalisme di Era Modern
Fenomena digital dan komersialisasi konten keagamaan di media sosial semakin memperumit perdebatan ini. Pendakwah kini berperan sebagai figur publik, produser konten, dan influencer keagamaan. Dalam konteks ini, upah atau bayaran seringkali menjadi bagian dari sistem ekonomi digital. Namun, persoalan mendasarnya tetap sama: bagaimana menjaga kemurnian dakwah dari eksploitasi pasar?
Ulama kontemporer menegaskan bahwa menerima imbalan tidak serta-merta menyalahi prinsip “wa mā as’alukum min ajr”. Selama tujuan utama dakwah adalah li i’lā kalimatillāh (menegakkan kalimat Allah), bukan keuntungan pribadi, maka aktivitas itu tetap sah dan bernilai ibadah. Upah hanya menjadi instrumen untuk keberlanjutan kegiatan dakwah, bukan motif utama.
Refleksi Etis dan Spiritualitas Dakwah
Dari perspektif moral, dakwah memerlukan dua keseimbangan: antara ikhlas dan ihsan. Ikhlas menjaga kemurnian niat, sedangkan ihsan menuntut profesionalisme dan kualitas penyampaian. Dalam dunia modern, dakwah yang dilakukan secara profesional bukan berarti kehilangan ruh spiritualnya, asalkan tetap menjadikan Allah sebagai orientasi akhir.
Pemahaman semacam ini memungkinkan umat Islam untuk merekonstruksi konsep dakwah sebagai profesi moral — bukan semata ritual atau jasa. Dalam kondisi sosial yang kompleks, profesionalisasi dakwah bahkan menjadi sarana untuk memperluas jangkauan risalah Islam tanpa harus jatuh ke dalam jebakan materialisme.
Kesimpulan
Perbedaan antara paradigma dakwah di Mesir dan Indonesia menunjukkan dinamika yang menarik dalam memahami ajaran Islam di tengah perubahan zaman. Dakwah di Mesir menekankan kesucian niat dan integritas moral, sementara di Indonesia berusaha mengakomodasi kebutuhan sosial-ekonomi pendakwah. Kedua pendekatan memiliki dasar syar’i yang sah, selama tidak menjadikan agama sebagai alat komersialisasi. Dengan demikian, kritik terhadap profesi dakwah bukanlah penolakan terhadap kompensasi finansial, melainkan ajakan untuk menjaga kemurnian tujuan dakwah agar tetap selaras dengan pesan Al-Qur’an.
Meta Description: Analisis akademik perbandingan antara praktik dakwah di Indonesia dan Mesir, membahas etika komersialisasi dakwah melalui pendekatan istiqra’ dan tafsir Al-Kasysyaf serta Al-Misbah.
SEO Keywords: dakwah, komersialisasi, Mesir, Indonesia, tafsir Al-Misbah, Al-Kasysyaf, istiqra’, profesi dai, etika dakwah Islam, upah dakwah.