Sufi menurut saya adalah orang yang menempuh jalan menuju Tuhan melalui ketaqwaan dan kearifan budi pekerti. Di Era Modern ini, kita memb...
Sufi menurut saya adalah orang yang menempuh jalan menuju Tuhan melalui ketaqwaan dan kearifan budi pekerti. Di Era Modern ini, kita membutuhkan cara yang tepat untuk menetralisir segala instrumen-instrumen dan produk teknologi yang sudah dipastikan akan merubah cara pandang hidup kita dan bagaimana cara kita menjalani hidup.
Mari kita ambil contoh, Media Sosial seperti Facebook, Twitter dan Instagram; telah banyak memberi perubahan terhadap sikap dan prefensi manusia dalam menyelesaikan masalah hidupnya. Seolah-olah bagi kebanyakan orang, Facebook adalah tempat mencurahkan segala rasa kesal, kekecewaan yang mendalam dan amarah yang tidak berkesudahan. Itulah wajah Facebook bagi mereka yang lupa terhadap orientasi hidupnya.
Jika kita mengamati apa yang terjadi di Facebook misalnya, instraksi personal terkadang dilakukan dengan cara tidak lazim; dimana orang cenderung menyuarakan hal-hal negatif terhadap orang lain walaupun tidak pernah bertemu dan mengenal mereka secara personal.
Misalnya, pada masa Pilpres 2019, sebagian orang dari kelompok tertentu memandang Presiden Jokowi sebagai sosok yang dzalim; membenci 'ulama' dan mengkriminalisasikan mereka. Padahal, orang-orang ini tidak tahu secara personal terhadap sosok Presiden Jokowi. Bahkan ada seorang yang membuat Vlog ingin memenggal kepala Jokowi; walaupun sang pengancam pada akhirnya harus berurusan kepada pihak kepolisian.
Sebenarnya, apa yang mendasari seseorang untuk berprilaku jahat; memfitnah, adu domba, dengki dan dendam seperti itu? Adalah ketidakmampuan mengendalikan diri dan sikap represif terhadap setiap permasalahan yang dimuat oleh media tanpa klarifikasi yang tepat.
Inilah yang saya yakini bahwa produk teknologi apapun bisa berdampak negatif jika tidak dikontrol dengan manajemen diri yang baik. Dalam hal ini bahasan tentang menjadi sufi di Era Modern bisa digunakan untuk memperkuat identitas diri kita agar bisa menjadi pribadi yang mampu bertahan terhadap dinamika zaman yang terus berkembang.
Bagaimana cara terbaik untuk menjadi Sufi di Era Modern?
Pertama, mampu mengenal diri sendiri
Orang yang mampu mengenal diri sendiri adalah orang yang merdeka. Merdeka dalam artian terbebas dari hasrat, angan-angan dan ambisi yang berlebihan terhadap kenikmatan dunia yang tidak terbatas.
Dalam sebuah riwayat dikatakan,
" Man arafa nafsahu fakad arafa rabbahu."
Artinya, "barangsiapa yang bisa mengenal dirinya, maka ia telah mengenal Tuhannya."
Jadi, seorang yang menjalani laku sufi harus bisa menjadi pribadi yang dapat menjembatani 2 dimensi kesalihan; kesalihan personal dan kesalihan sosial. Terkadang seorang Sufi hanya menyibukkan diri dengan ritual ibadah personal tanpa melibatkan diri pada aspek kesalihan sosial. Konsekuensinya Seorang Sufi yang seperti itu tidak akan pernah sanggup menghadapi dan menyelesaikan problematika dan kompleksitas permasalahan yang terjadi di masyarakat.
Apa yang dimaksud dengan kesalihan sosial?
Kesalihan sosial adalah aspek ibadah yang mengedepankan "ishamat" sumbangsih terbaik seseorang untuk masyarakatnya. Misalnya, totalitas dalam pendidikan dan totalitas dalam menghasilkan karya terbaik dan bermanfaat untuk bangsa dan agama.
Orang yang bisa mengenal diri sendiri akan hidup dalam kerangka "attawasuth" keseimbangan. Maksudnya, perbuatan yang dilakukan merupakan pertimbangan terbaik dan kontekstual dalam hidupnya. Bukan karena hasrat atau keinginan temporal yang menguntungkan sebagian pihak. Baik itu menguntungkan diri sendiri atau malah menyengsarakan orang lain.
Dalam suatu riwayat dikisahkan, ada seorang yang ahli ibadah yang pergi bersama dengan rekan-rekannya; para sahabat nabi. Ketika para rekan-rekannya itu beristirahat, mereka bertanya kepada
Rasulullah Saw,
" Wahai Rasulullah, si Fulan ini adalah orang yang kuat beribadah. Bahkan tidak ada waktu yang dihabiskan dalam hidupnya kecuali dengan ibadah. Saat kami sedang beristirahat seperti ini saja dia mengerjakan shalat. Jadi, istirahatnya adalah shalat. Jika kami selesai beristirahat dia; si Fulan pun bergegas untuk pergi bersama kami dan melanjutkan perjalanan. Jadi kami menyimpulkan, bahwa si Fulan adalah orang yang terbaik diantara kami."
Rasulullah Saw pun berkata,
" lantas, siapa yang bertanggungjawab terhadap segala kebutuhannya selama ini?"
Para sahabat menjawab,
" Kamilah yang menyediakan segala kebutuhan dan keinginannya."
Rasulullah Saw demi mendengar jawaban mereka berkata,
" Kalian sungguh lebih baik daripada dia."
Apa hikmah dari Riwayat Hadist yang populer ni?
Nabi Muhammad Saw ingin kita memahami bahwa berkarya, berbuat dan memberikan kemanfaatan kepada orang lain adalah ibadah. Bukanlah termasuk ibadah yang sempurna jika ia hanya berfokus pada kepuasan diri, sebagaimana orang yang larut dalam peribadatannya sendiri tanpa peduli dengan dunia yang sudah berubah;bahkan ada yang lupa terhadap tanggung jawabnya sebagai Khalifah/Pemimpin di bumi ini.
Sebenarnya, tulisan ini hanyalah "auto critic" kritik diri semata, agar siapapun yang membaca tulisan ini bisa mengambil manfaat dan kembali kepada tujuan hidup yang telah digariskan oleh Tuhan; beribadah.
Sebagai manusia yang beriman, kita percaya bahwa Tuhan mengenal diri kita dan terlibat dalam setiap usaha yang kita lakukan. Mungkin ada orang yang tidak percaya akan adanya kehendak Tuhan di dalam hidup kita. Mereka menganggap Tuhan tidak ikut campur terhadap setiap proses kehidupan yang dijalani manusia. Misalnya, terhadap bencana alam yang terjadi, mereka anggap itu hanyalah dinamika alam belaka tanpa ada keterkaitannya kepada Tuhan. Sekilas memang benar, tapi sebagai orang beragama, harus tetap percaya segala sesuatu yang terjadi pasti ada penyebabnya. Begitupula dibalik terjadinya setiap bencana alam yang begitu dahsyat, ada kasih sayang Tuhan untuk Manusia. Kita harus percaya itu. Karena orang beriman yang mampu mengenali dirinya tidak boleh hidup dalam keputusasaan.
Kedua, konsisten terhadap ketaatan dan kesalihan
Menjadi Sufi di era modern juga membutuhkan konsistensi dalam ketaatan dan kesalihan. Ketaatan dan kesalihan tidak hadir dalam ruang hampa tanpa ada perjuangan. Ketaatan dan kesalihan bermula dari keimanan yang utuh kepada dzat yang menguasai Alam semesta: Allah SWT.
Dalam hadits dikatakan,
" Ittaku Allah Khaitsuma Kunta, Wa atbii' Saiyiata al khasanata Tamhuha, wa khalikin nasa ni khulukin khasanin."
Artinya,
" Takutlah kepada Allah SWT dimana pun kamu berada, dan iringilah perbuatan buruk dengan perbuatan baik sebagai penggantinya, dan berinteraksilah dengan manusia dengan Budi pekerti yang luhur."
Perintah untuk mengingat Allah SWT setiap saat dalam hadits ini merupakan inti dari sebuah peribadatan. Ibadah yang selama ini kita yakini sebagai sesuatu yang dikerjakan secara personal, dituntut untuk bisa membawanya pada dimensi sosial yang lebih luas.
Artinya, kita sebagai manusia terkadang menampilkan kesalihan dan ketaqwaan hanya agar dinilai sebagai orang yang menjalankan perintah agama dengan baik dan sempurna; sementara, pada saat sendiri, kita tidak bisa konsisten dalam ketaqwaan sebagaimana saat dilihat dan diperhatikan oleh orang lain.
Mari kita ambil contoh, kita bisa melihat bagaimana praktik beragama dimasyarakat kita, ada sekelompok orang yang begitu mengekspos segala aktivitas peribadatannya pada publik agar terkesan lebih alim dan soleh. Tapi, disisi lain, ketika mereka bubar, berpisah dari hiruk-pikuk seremonial peribadatan, mereka akan menjadi orang yang berbeda, bahkan tidak peduli dengan nilai-nilai agama.
Misalnya, ada orang yang rajin ke majelis dakwah, dzikir dan ikut program "one-day one juz". Tapi ketika orang-orang ini berpisah dari majelis, keengganan untuk melakukan ketaatan semakin buruk. Ada juga orang yang ketika mengerjakan shalat di muka umum, tampak begitu khusyuk. Tapi, manakala shalat sendirian, shalatnya begitu cepat dan tidak memikirkan kekhusukan ibadahnya sama sekali dan ada pula orang yang berpakaian begitu islami tapi di Media Sosial ia seakan-akan bertransformasi menjadi manusia yang bahagia dengan cara mencaci orang lain dan merendahkan mereka.
Sebagai penutup, walaupun zaman berubah dan kemajuan teknologi semakin berkembang, ada hal yang tidak bisa berubah dalam diri manusia. Yaitu, penyakit hati manusia dan bagaimana cara kita mengatasinya. Karena itu, Imam Al-Ghazali dalam buku Ihya Ulumuddin, ia banyak mengulas dengan secara terperinci tentang bagaimana manusia kembali pada jalan kebenaran dan kondisi hati yang paripurna.
Karena hanya dengan mengetahui segala penyakit hati dan mampu mengobatinya, seorang akan hidup dengan damai, tentram dan menjalani hidup dan kematian dengan senyuman.
Semoga Bermanfaat
Robby Andoyo